Sabtu, 21 Mei 2011

Ummu Umarah



Kehidupan dunia dengan segala penderitaannya seolah tak lagi berarti baginya, manakala dia telah mendengar janji indah tentang surga. Sepenuh pengorbanan jiwa dan raga dia berikan untuk Alloh  Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Mungkin orang yang belum pernah mendengar namanya akan mengernyitkan dahi sembari bertanya, siapakah dia? Namun, tak mungkin diingkari, dia adalah seorang shahabiyah yang memiliki untaian kemuliaan besar. Kemuliaannya tertulis dalam sejarah kaum muslimin.

Dia bernama Nusaibah bintu Ka’b bin ‘Amr bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar radhiAllohu ‘anha. Ibunya bernama Ar Rabbab bintu ‘Abdillah bin Habib bin Zaid bin Tsa’labah bin Zaid Manat bin Habib bin ‘Abdi Haritsah bin ‘Adlab bin Jasym bin Al Khazraj.

Ummu ‘Umarah dipersunting oleh Zaid bin ‘Ashim bin ‘Amr bin ‘Auf bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar. Mereka dikaruniai dua orang putra, Abdullah dan Habib, yang kelak di kemudian hari menjadi shahabat Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam yang menyertai beliau dalam medan peperangan.

Sepeninggal suaminya, Ummu Umarah menikah dengan Ghaziyah bin ‘Amr bin ‘Athiyah bin Khansa’ bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar radhiAllohu ‘anhu. Dari pernikahan mereka, lahir Tamim dan Khaulah.

Ummu ‘Umarah radhiAllohu ‘anha menyambut datangnya seruan Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam. Setelah keislamannya itu, Alloh Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan banyak kemuliaan padanya. Satu per satu peristiwa besar turut dilaluinya. Dia salah satu wanita yang hadir pada malam ‘Aqabah dan berbai’at kepada Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam. Medan Uhud, Hudaibiyah, Khaibar, ‘Umratul Qadla’, Hunain tak lepas dari sejarah perjalanan hidupnya bersama Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam. Bahkan semasa pemerintahan Abu Bakr Ash Shiddiq radhiAllohu ‘anhu, dia turut terjun memerangi Musailamah Al Kadzdzab dalam perang Yamamah.

Kisah indah dan mengesankan dalam medan pertempuran Uhud, tatkala Ummu ‘Umarah radhiAllohu ‘anha ikut berperan dalam kancah itu bersama suaminya, Ghaziyah bin ‘Amr serta kedua putranya, ‘Abdullah dan Habib radhiAllohu ‘anhum. Dengan membawa geriba tempat air minum untuk memberi minum pasukan yang terluka, Ummu ‘Umarah berangkat bersama pasukan kaum muslimin di awal siang.

Pertempuran berlangsung dahsyat. Ketika pasukan kaum muslimin tercerai berai, tak tersisa di sisi Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya beberapa orang yang tak sampai sepuluh orang banyaknya. Di saat yang genting itu, Ummu Umarah terjun langsung dalam peperangan dengan pedangnya. Bersama suami dan dua putranya, Ummu Umarah mendekati Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam, melindungi di depan beliau dengan segenap kemampuan.

Tanpa perisai Ummu Umarah melindungi Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam, sementara sebagian besar pasukan muslimin lari kocar-kacir. Di antara orang-orang yang berlarian menjauh dari beliau, ada seseorang yang lari membawa perisainya.

Beliau pun berseru, “Berikan perisaimu pada orang yang berperang!” Orang itu pun melemparkan perisainya dan segera diambil oleh Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah pun bertameng dengannya. Demikian keadaan yang mereka hadapi saat itu, sementara lawan mereka adalah pasukan berkuda kaum musyrikin.

Tiba-tiba datang seorang penunggang kuda memacu kudanya sembari menyabetkan pedangnya ke arah Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah menangkis tebasan itu dengan perisainya hingga orang itu tak berhasil berbuat sesuatu. Ummu Umarah pun menebas kaki kudanya hingga penunggang kuda itu pun terjatuh. Menyaksikan hal itu, Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam segera memanggil salah seorang putra Ummu Umarah, “Ibumu! Ibumu!” Dengan cepat putra Ummu Umarah datang membantu ibunya hingga dapat melumpuhkan musuh Alloh itu.

Di tengah berkecamuknya perang, putra Ummu Umarah, ‘Abdullah bin Zaid terluka di lengan kirinya, ditebas oleh seseorang yang sangat cepat datangnya dan berlalu begitu saja, tanpa sempat dia kenali. Darah pun mengucur tak henti. Melihat itu, Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam berkata, “Balut lukamu!” Ummu ‘Umarah pun datang membawa pembalut yang dipersiapkannya untuk membalut luka-luka, segera mengikat luka putranya, sementara Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam berdiri mengawasi.

Usai mengikat luka, Ummu ‘Umarah berkata pada putranya, “Bangkitlah! Perangilah orang-orang itu!” Mendengar ucapannya, Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa yang mampu melakukan seperti yang kaulakukan, wahai Ummu ‘Umarah?”

Kemudian datanglah orang yang melukai ‘Abdullah. Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Itu orang yang menebas putramu!” Ummu ‘Umarah segera menghadangnya dan menebas betisnya hingga orang itu terjatuh. Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam tersenyum menyaksikannya hingga tampak gigi geraham beliau. Ummu Umarah pun menebasnya bertubi-tubi hingga mati. Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Ummu Umarah, “Segala puji milik Alloh yang telah menolongmu serta menyenangkan hatimu dengan keadaan musuhmu dan memperlihatkan pembalasan itu di depan matamu.”

Ummu Umarah pun menderita luka-luka dalam peperangan itu. Luka yang paling besar terdapat di pundaknya, karena tikaman pedang seorang musuh Alloh  Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, Ibnu Qami’ah. Saat itu, Ibnu Qami’ah datang dan berseru, “Tunjukkan aku pada Muhammad! Aku tidak akan selamat kalau dia selamat!” Dia pun segera dihadang oleh Mush’ab bin ‘Umair radhiAllohu ‘anhu bersama para sahabat yang lain. Ummu Umarah berada dalam barisan itu. Maka Ibnu Qami’ah menghunjamkan pedangnya ke pundak Ummu Umarah. Ummu Umarah pun membalas dengan beberapa kali tebasan, namun musuh Alloh itu mengenakan baju perang yang melindunginya.

Tatkala melihat Ummu Umarah terluka di pundaknya, Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam berseru pada ‘Abdullah, “Ibumu! Ibumu! Balutlah lukanya! Semoga Alloh  Subhanahu wa Ta’ala memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait. Kedudukan ibumu pada hari ini lebih baik daripada kedudukan si Fulan dan si Fulan. Semoga Alloh  Subhanahu wa Ta’ala memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait.

Kedudukan suami ibumu lebih baik daripada kedudukan si Fulan dan si Fulan. Semoga Alloh memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait!” Ummu ‘Umarah pun meminta, “Wahai Rasululloh, berdoalah kepada Alloh  Subhanahu wa Ta’ala agar kami menemanimu di dalam surga!” Beliau pun berdoa, “Ya Alloh, jadikan mereka orang-orang yang menemaniku di dalam surga.” Ummu ‘Umarah berkata, “Aku tidak peduli lagi apa yang menimpaku di dunia.”

Dua belas luka didapatkan oleh Ummu ‘Umarah dalam peperangan itu. Tikaman pedang Ibnu Qami’ah itulah luka yang paling parah yang diderita oleh Ummu ‘Umarah, hingga dia harus mengobati luka itu setahun lamanya.

Keadaan luka yang sedemikian hebat tak menyurutkan semangat Ummu ‘Umarah untuk membela Alloh dan Rasul-Nya. Ketika kaum muslimin diseru untuk bersiap menuju peperangan di Hamra`il Asad, Ummu ‘Umarah pun menyingsingkan bajunya. Namun, dia tak kuasa menahan kucuran darah dari lukanya. Dalam semalam lukanya terus diseka hingga pagi.

Sepulang dari peperangan di Hamra`il Asad, Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam mengutus ‘Abdullah bin Ka’b Al-Mazini untuk menanyakan keadaan Ummu ‘Umarah. ‘Abdullah bin Ka’b pun melaksanakan perintah beliau, kemudian menyampaikan kabar Ummu ‘Umarah kepada beliau.

Kecintaannya pada Alloh dan Rasul-Nya terus diwujudkannya, sampai pun setelah Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam wafat. Ketika Abu Bakr Ash Shiddiq radhiAllohu ‘anhu menjabat sebagai khalifah, muncul seorang pendusta bernama Musailamah Al-Kadzdzab, yang mengaku sebagai nabi. Abu Bakr radhiAllohu ‘anhu pun memeranginya bersama pasukan kaum muslimin dalam perang Yamamah. Ummu ‘Umarah pun turut serta dalam pasukan itu. Di sanalah Ummu ‘Umarah terpotong tangannya dan menderita sebelas luka lainnya karena tebasan pedang dan tusukan tombak. Di sanalah pula Ummu ‘Umarah kehilangan putranya, Habib bin Zaid radhiAllohu ‘anhu.

Tak hanya dalam peperangan dia hadir di sisi Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam. Pun Ummu ‘Umarah meriwayatkan ilmu dari beliau, serta menyebarkannya pada manusia. Perwujudan cintanya kepada Alloh  Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dengan segala pengorbanan jiwa dan raga sepanjang perjalanan kehidupannya di dunia, mengantarkan dirinya untuk mendapatkan kemuliaan yang kekal selama-lamanya. Ummu ‘Umarah, semoga Alloh  Subhanahu wa Ta’ala meridhainya….



(Sumber Rujukan: Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (8/265-266), Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1948-1949), Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/412-415), Siyar A’lamin Nubala`, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/278-282))
 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id