Rabu, 10 Desember 2008

Abd'llah Bin Mas'ud

Abd'llah Bin Mas'ud

( Yang Pertamakali mengumandangkan Al-Quran dengan suara merdu )

Sebelum Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke rumah Arqam, Abdullah bin Mas'ud telah beriman kepadanya dan merupakan orang keenam yang masuk Islam dan mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dengan demikian ia termasuk golongan yang mula pertama masuk Islam

Pertemuannya yang mula-mula dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam itu diceritakannya sebagai berikut: "Ketika itu saya masih remaja, menggembalakan kambing kepunyaan Uqbah bin Mu'aith. Tiba-tiba datang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersama Abu Bahar radhiyallahu 'anhu, dan bertanya: "Hai nak, apakah kamu punya susu untuk minuman kami': "Aku orang kepercayaan" ujarku': "dan tak dapat memberi anda berdua minuman ...!"

maka sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Apakah kamu punya kambing betina mandul, yang belum dikawini oleh salah seekor jantan"? ada : ujarku. Lalu saya bawa ia kepada mereka. Kambing itu diihat kahinya oleh Nabi lalu disapu susunya sambil memohon kepada Allah. Tiba-tiba susu itu berair banyak .... Kemudian Abu Bahar mengambikan sebuah batu cembung yang digunakan Nabi untuk menampung perahan susu. Lalu Abu Bakar pun minum lah, dan saya pun tidak ketinggalan .... Setelah itu Nabi menitahhan kepada susu: "Kempislah!': maka susu tu menjadi kempis.... Setelah peristiwa itu saya datang menjumpai Nabi, katahu: "Ajarkanlah kepadaku kata-kata tersebutl" Ujar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Engkau akan menjadi seorang anak yang terpelajar!''

Alangkah heran dan ta'jubnya Ibnu Mas'ud ketika menyaksikan seorang hamba Allah yang shalih dan utusan-Nya yang dipercaya memohon kepada Tuhannya sambil menyapu susu hewan yang belum pernah berair selama ini, tiba-tiba mengeluarkan kurnia dan rizqi dari Allah berupa air susu murni yang enak buat diminum ...!

Pada sa'at itu belum disadarinya bahwa peristiwa yang disaksikannya itu hanyalah merupakan mu'jizat paling enteng dan tidak begitu berarti, dan bahwa tidak berapa lama iagi dari Rasululla~i yang mulia ini akan disaksikannya mu'jizat yang akan menggoncangkan dunia dan memenuhinya dengan petunjuk serta cahaya ....

Bahkan pada saat itu juga belum diketahuinya, bahwa dirinya sendiri yang ketika itu masih seorang remaja yang lemah lagi miskin, yang menerima upah sebagai penggembala kambing milik 'Uqbah bin Mu'aith, akan muncul sebagai salah satu dari mu'jizat ini, yang setelah ditempa oleh Islam menjadi seorang beriman, akan mengalahkan kesombongan orang-orang Quraisy dan menaklukkan kesewenangan para pemukanya....

Maka ia, yang selama ini tidak berani lewat di hadapan salah seorang pembesar Quraisy kecuali dengan menjingkatkan kaki dan menundukkan kepala, di kemudian hari setelah masuk Islam, ia tampil di depan majlis para bangsawan di sisi Ka'bah, sementara semua pemimpin dan pemuka Quraisy duduk berkumpul, lain berdiri di hadapan mereka dan mengumandangkan suaranya yang merdu dan membangkitkan minat, berisikan wahyu Iiahi al-Quranul Karim:

Bismillahirrahmanirrahim .... Allah Yang Maha Rahman .... Yang telah mengajarkan al-Quran .... Menciptakan insan .... Dan menyampaikan padanya penjelasan .... Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan .... Sedang bintang dan kayu-kayuan sama sujud kepada Tuhan....

Lain dilanjutkannya bacaannya, sementara pemuka-pemuka Quraisy sama terpesona, tidak percaya akan pandangan mata dan pendengaran telinga mereka .... dan tak tergambar dalam fikiran mereka bahwa orang yang menantang kekuasaan dan kesombongan mereka ..., tidak lebih dari seorang upahan di antara mereka, dan penggembala kambing dari salah seorang bangsawan Quraisy .... yaitu Abdullah bin h/las'ud, seorang miskin yang hina dina .... !

Marilah kita dengar keterangan dari saksi mata melukiskan peristiwa yang amat menarik dan mena'jubkan itu! Orang itu tiada lain dari Zubair radhiyallah 'anhu katanya:

"Yang mula-mula menderas al-quran di Mekah setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ialah Abdullah bin Masitd radhiyallah 'anhu . Pada suatu hari para shahabat Rasulullah berkumpul, kata mereka: "Demi Allah orang-orang Quraisy belum lagi mendengar sedikit pun al-quran ini dibaca dengan suara keras di hadapan mereka.... Nah, siapa di antara kita yang bersedia memperdengarkannya kepada mereka ...." Maha kata Ibnu Mas'ud: "Saya ". Kata mereka: "Kami Khawatir akan keselamatan dirimu! Yang kami inginkan ialah seorang laki-laki yang mempunyai kerabat yang akan mempertahankannya dari orang-orangg itu jika mereka bermaksud jahat ....': "Biarkanlah saya!" kata Ibnu Mas'ud pula, "Allah pasti membela Maka datanglah Ibnu Mas'ud kepada kaum Quraisy di waktu dluha, yakni ketika mereka sedang berada di balai pertemuannya.... la berdiri di panggung lalu membaca: Bismillahirrahmaanirrahim, dan dengan mengerashan suaranya: Arrahman Allamal Quran ....

Lalu sambil menghadap kepada mereka diteruskanlah bacaannya. Mereka memperhatikannya sambil bertanya sesamanya: "Apa yang dibaca oleh anak si Ummu 'Abdin itu ... . Sungguh, yang dibacanya itu ialah yang dibaca oleh Muhammad" Mereka bangkit mendatangi dan memukulinya, sedang Ibnu Mas'ud meneruskan bacaannya sampai batas yang dihehendaki Allah .Setelah itu dengan muka dan tubuh yang babak-belur ia kembali hepada para shahabat. Kata mereka: "Inilah yang kami khawatirkan terhadap dirimu ....!" Ujar Ibnu Mas'ud "Sekarang ini tak ada yang lebih mudah bagimu dari menghadapi musuh-musuh Allah itu! Dan seandainya tuan-tuan menghendaki, saya akan mendatangi mereka lagi dan berbuat hal yang sama esok hari " Ujar mereha: "Cukuplah demikian! Kamu telah membacakan kepada mereka barang yang menjadi tabu bagi mereka!"

Benar, pada saat Ibnu Mas'ud tercengang melihat susu kambing tiba-tiba berair sebelum waktunya, belum menyadari bahwa ia bersama kawan-kawan senasib dari golongan miskin tidak berpunya, akan menjadi salah satu mu'jizat besar dari Rasulullah, yakni ketika mereka bangkit memanggul panji-panji Allah dan menguasai dengannya cahaya slang dan sinar matahari. Tidak diketahuinya bahwa saat itu telah dekat .... Kiranya secepat itu hari datang dan lonceng waktu telah berdentang, anak remaja buruh miskin dan terlunta-lunta serta-merta menjadi suatu mu'jizat di antara berbagai mu'jizat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam....!

Dalam kesibukan dan berpacuan hidup, tiadalah ia akan menjadi tumpuan mata .... Bahkan di daerah yang jauh dari kesibukan pun juga tidak ... .! Tak ada tempat baginya di kalangan hartawan, begitu pun di dalam lingkungan ksatria yang gagah perkasa, atau dalam deretan orang-orang yang berpengaruh.

Dalam soal harta, ia tak punya apa-apa, tentang perawakan ia kecil dan kurus, apalagi dalam seal pengaruh, maka derajatnya jauh di bawah ....Tapi sebagai ganti dari kemiskinannya itu, Islam telah memberinya bagian yang melimpah dan perolehan yang cukup dari pebendaharaan Kisra dan simpanan Kaisar. Dan sebagai imbalan dari tubuh yang kurus dan jasmani yang lemah, dianugerahi-Nya kemauan baja yang dapat menundukkan para adikara dan ikut mengambil bagian dalam merubah jalan sejarah. Dan untuk mengimbangi nasibnya yang tersia terlunta-lunta, Islam telah melimpahinya ilmu pengetahuan, kemuliaan serta ketetapan, yang menampilkannya sebagai salah seorang tokoh terkemuka dalam sejarah kemanusiaan ....

Sungguh, tidak meleset kiranya pandangan jauh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau mengatakan kepadanya: "Kamu akan menjadi seorang pemuda terpelajar". Ia telah diberi pelajaran oleh Tuhannya hingga menjadi faqih atau ahli hukum ummat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam , dan tulang punggung para huffadh al-Quranul Karim .

Mengenai dirinya ia pernah mengatakan: "Saya telah menampung 70 surat alquran yang kudengar langsung dari RasululIah Shallallahu 'alaihi wa sallam tiada seorang pun yang menyaingimu dalam hal ini...."

Dan rupanya Allah swt. memberinya anugerah atas keberaniannya mempertaruhkan nyawa dalam mengumandangkan alQuran secara terang-terangan dan- menyebarluaskannya di segenap pelosok kota Mekah di saat siksaan dan penindasan merajalela, maka dianugerahi-Nya bakat istimewa dalam membawakan bacaan al-Quran dan kemampuan luau biasa dalam memahami arti dan maksudnya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberi washiat kepada para shahabat agar mengambil Ibnu Mas'ud sebagai teladan, sabdanya: "Berpegang-teguhlah kepada ilmu yang diberihan oleh Ibnu Ummi 'Abdin ....!"

Diwashiatkannya pula agar mencontoh bacaannya, dan mempelajari cara membaca al-Quran daripadanya. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Barangsiapa yang ingin hendak mendengar al-quran tepat seperti diturunhan, hendaklah ia mendengarhannya dari Ibnu Ummi ilbdin ...! Barangsiapa yang ingin hendak membaca al-quran tepat seperti diturunkan, hendaklah ia membacanya seperti bacaan Ibnu Ummi ;Ibdin ...!"

Sungguh, telah lama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallammenyenangi bacaan al-Quran dari mulut Ibnu Mas'ud .... Pada suatu hari ia memanggilnya sabdanya:

"Bacakanlah kepadaku, hai Abdullah!" "Haruskah aku membacakannya pada anda, wahai Rasulullah..?" Jawab Rasulullah: "Saya ingin mendengarnya dari mulut orangiain" Maka Ibnu Mas'ud pun membacanya dimulai dari surat an-Nisa hingga sampai pada firman Allah Ta'ala: Maka betapa jadinya bila Kami jadikan dari setiap ummat itu seorang saksi, sedangkan kamu Kami jadikan sebagai saksi bagi mereka ... .! Ketika orang-orang kafir yang mendurhakai Rasul sama berharap kiranya mereka disamaratakan dengan bumi ... .! dan mereka tidah dapat merahasiahan pembicaraan dengan Allah ....!" (QS 4 an-Nisa: 41 -- 42)

Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tak dapat manahan tangisnya, air matanya meleleh dan dengan tangannya diisyaratkan kepada Ibnu Mas'ud yang maksudnya: "Cukup ...,cukuplah sudah, hai lbnu Mas'ud ...!"

Suatu ketika pernah pula Ibnu Mas'ud menyebut-nyebut karunia Allah kepadanya, katanya: '"Tidah suatu pun dari al-quran itu yang diturunkan, kecuali aku mengetahui mengenai peristiwa apa diturunkannya. Dan tidah seorang pun yang lebih mengetahui tentang Kitab Allah daripadaku. Dan sehiranya aku tahu ada seseorang yang dapat dicapai dengan berkendaraan unta dan ia lebih tahu tentang Kitabullah daripadaku, pastilah aku ahan menemuinya. Tetapi aku bukanlah yang terbaih di antaramu!"

Keistimewaan Ibnu Mas'ud ini telah diakui oleh para shahabat. Amirul Mu'minin Umar berkata mengenai dirinya: "Sungguh ilmunya tentang fiqih berlimpah-Iimpah':

Dan berkata Abu Musa ai-Asy'ari: "Jangan tanyakan kepada kami sesuatu masalah, selama kiyai ini berada di antara tuan-tuan.'"

Dan bukan hanya keunggulannya dalam al-Quran dan ilmu fiqih saja yang patut beroleh pujian, tetapi juga keunggulannya dalam keshalihan dan ketaqwaan.

Berkata Hudzaifah tentang dirinya: "Tidah seorang pun saya lihat yang lebih mirip kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam baik dalam cara hidup, perilaku dan ketenangan jiwanya, daripada Ibnu Mas'ud.... Dan orang-orang yang dikenal dari shahabat-shahabat Rasulullah sama mengetahui bahwa putera dari Ummi 'Abdin adalah yang paling dekat kepada Allah ....!"

Abbad Bin Bisyir

Abbad Bin Bisyir

SELALU DISERTAI CAHAYA ALLAH

Ketika Mush'ah bin Umeir tiba di Madinah-sebagai utusan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam untuk mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang-orang Anshar yang telah bai'at kepada Nabi dan membimbing mereka melakukan shalat, maka'Abbad bin Bisyir radhiallahu anhu adalah seorang budiman yang telah dibukakan Allah hatinya untuk menerima kebaikan. la datang menghadiri majlis Mush'ab dan mendengarkan da'wahnya, lain diulurkan tangannya mengangkat bai'at memeluk Islam. Dan semenjak saat itu mulailah ia menempati kedudukan utama di antara orang-olang Anshar yang diridlai oleh Allah serta mereka ridla kepada Allah ....

Kemudian Nabi pindah ke Madinah, setelah lebih dulu orang-orang Mu'min dari.Eulekah tiba di sana. Dan mulailah terjadi peperangan-peperangan dalam mempertahankan diri dari serangan-serangan kafir Quraisy dan sekutunya yang tak henti-hentinya memburu Nabi dan ummat Islam. Kekuatan pembawa cahaya dan kebaikan bertarung dengan kekuatan gelap dan kejahatan. Dan pada setiap peperangan itu 'Abbad bin Bisyir berada di barisan terdepan, berjihad di jalan Allah dengan gagah berani dan mati-matian dengan cara yang amat mengagumkan ....

Dan mungkin peristiwa yang kita paparkan di bawah ini dapat mengungkapkan sekelumit dari kepahlawanan tokoh Mu'min ini....

Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dan Kaum Muslimin selesai menghadapi perang Dzatur Riqa', mereka sampai di suatu tempat dan bermalam di sana, Rasulullah shallallahu alaihi wasalam :memilih beberapa orang shahabatnya untuk berkawal secara bergiliran. Di antara mereka terpiiih 'Ammar bin Yasir dan 'Abbad bin Bisyir yang berada pada satu kelompok.

Karena dilihat oleh 'Abbad bahwa kawannya 'Ammar sedang lelah, di usul kannyalah agar 'Ammar tidur lebih dulu dan ia akan berkawal. Dan nanti bila ia telah mendapatban istirahat yang cukup, maka giliran 'Ammar pula berkawal menggantikannya.

'Abbad melihat bahwa lingkungan sehelilingnya aman. Maka timbullah fikirannya, kenapa ia tidak mengisi waktunya dengan melakukan shalat, hingga pahala yang akan diperoleh akan jadi berlipat ... ? Demikianlah ia bangkit melakukannya ....

Tiba-tiba sementara ia berdiri sedang membaca sebuah surat Al-Quran setelah al-Fatihah sebuah anak panah menancap di pangkal lengannya. Maka dicabutnya anak panah itu dan diteruskannya shalatnya.....
Tidak lama antaranya mendesing pula anak panah kedua yang mengenai anggota badannya.

Tetapi ia tak hendak menghentikan shalatnya hanya dicabutnya anak panah itu seperti yang pertama tadi, dan dilanjutkannya bacaan surat.

Kemudian dalam gelap malam itu musuh memanahnya lalu untuk ketiga kalinya. 'Abbad menarik anak panah itu dan mengakhiri bacaan surat. Setelah itu ia ruku' dan sujud ...,sementara tenaganya telah lemah disebabkan sakit dan lelah.

Lalu antara sujud itu diulurkannya tangannya kepada kawanya yang sedang tidur di sampingnya dan ditarik-tariknya ia sampai terbangun.

Dalam pada itu ia bangkit dari sujudnya dan membaca tasyahud, lalu menyelesaikan shalatnya.

'Ammar terbangun mendengar suara kawannya yang tak putus-putus menahan sakit: "Gantikan daku mengawal ..., karena aku telah kena... !"'Ammar menghambur dari tidurnya hingga menimbulkan kegaduhan dan takutnya musuh yang menyelinap. Mereka melarikan diri, sedang 'Ammar berpaling kepada temannya seraya katanya: "Subhanallah ... ! Kenapa saya tidak dibangunkan ketika kamu dipanah yang pertama kali tadi...," Ujar 'Abbad: -

"Ketika daku shalat tadi, aku membaca beberapa ayat al-Quran yang amat mengharukan hatiku, hingga aku tak ingin untuk memutuskannya ... ! Dan demi Allah, aku tidaklah akan menyia-nyiakan pos penjagaan yang ditugaskan Rasul kepada kita menjaganya, sungguh, aku lebih suka mati daripada memutuskan bacaan ayat-ayat yang sedang kubaca itu ... !"

'Abbad amat cinta sebali kepada Allah, kepada Rasul dan kepada Agamanya .... Kecintaan itu memenuhi segenap perasaan dan seluruh kehidupannya. Dan semenjak Nabi shallallahu alaihi wasalam berpidato dan mengarahkan pembicaraannya kepada Kaum Ansbar, ia termasuk salah seorang di antara mereka. Sabdanya:

"Hai golongan Anshar... ! Kalian adalah inti, sedang golongan lain bagai kulit ari! Maka tak mungkin aku dicederai oleh pihak kalian ..,!''

Semenjak itu, yakni semenjak 'Abbad mendengar ucapan ini dari Rasulnya, dari guru dan pembimbingnya kepada Allah, dan ia rela menyerahkan harta benda nyawa dan hidupnya di jaIan Allah dan di JaIan Rasul-Nya ..., maka kita temui dia di arena pengurbanan dan di medan iaga muncul sebagai orang pertama, sebaliknya di waktu pembagian keuntungan dan harta rampasan, sukar untuk ditemukannya .

Di samping itu ia adalah seorang ahli ibadah yang tekun ..., seorang pahlawan yang gigih dalam berjuang ...,seorang dermawan yang rela berqurban ...,dan seorang mu'min sejati yang telah membaktikan hidupnya untuk keimanannya ini ... !

Keutamaannya ini telah dikenai luas di antara shahabat-shahabat Rasul. Dan Aisyah radhiallahu anha Ummul Mu'minin pernah mengatakan tentang dirinya: Ada tiga orang Anshar yang keutamaannya tak dapat diatasi oleh seorang pun juga yaitu: Sa'ad bin Mu'adz, Useid bin Hudlair dan 'Abbad bin Bisyir... !"

Orang-orang Islam angkatan pertama mengetahui bahwa 'Abbad adalah seorang tokoh yang beroleh karunia berupa cahaya dari Allah .... Penglihatannya yang jelas dan beroleh penerangan, dapat mengetahui tempat-tempat yang baik dan meyakinkan tanpa mencarinya dengan susah-payah. Bahkan kepercayaan shahabat-shahabatnya mengenai cahaya ini sampai ke suatu tingkat yang lebih tinggi, bahwa ia merupakan benda yang dapat terlihat. Mereka sama sekata bahwa bila 'Abbad berjalan di waktu malam, terbitlah daripadanya berkas-berkas cahaya dan sinar yang menerangi baginya jalan yang akan ditempuh ....

Dalam peperangan menghadapi orang-orang murtad sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wasalam maka 'Abbad memikul tanggung jawab dengan keberanian yang tak ada taranya ... i Apalagi dalam pertempuran Yamamah di mana Kaum Muslimin menghadapi balatentara yang paling kejam dan paling berpengalaman dibawah pimpinan Musailamatul Kaddzab, 'Abbad melihat bahaya besar yang mengancam Islam. Maka jiwa pengurbanan dan teras kepahlawanannya mengambil bentuk sesuai dengan tugas yang dibebankan oleh keimanannya, dan meningkat ke taraf yang sejajar dengan kesadarannya akan bahaya tersebut, hingga menjadikannya sebagai prajurit yang berani mati, yang tak menginginkan kecuali mati syahid di jalan Ilahi ....

Sehari sebelum perang Yamamah itu dimulai,'Abbad mengalami suatu mimpi yang tak lama antaranya diketahui Ta'birnya secara gamblang dan terjadi di arena pertempuran sengit yang diterjuni oleh Kaum Muslimin.

Dan marilah kita panggil seorang shahabat mulia Abu Sa'id al-Khudri radhiallahu anhu untuk menceritakan mimpi yang dilihat oleh 'Abbad tersebut begitu pun Ta'birnya, serta peranannya yang mengagumkan dalam pertempuran yang berakhir dengan syahidnya.... Demikian cerita Abu Sa'id: " 'Abbad bin Bisyir mengatakan kepadaku: -- "Hai Abu

Sa'id! Saya bermimpi semalam melihat langit terbuka untukku, kemudian tertutup lagi ... ! Saya yakin bahwa ta'birnya insya Allah saya akan menemui syahidnya ... !" "Demi Allah!" ujarku, "itu adalah mimpi yang baik ... !"

"Dan di waktu perang Yamamah itu saya lihat ia berseru kepada orang-orang Anshar: "Pecahkan sarung-sarung pedangmu dan tunjukkan kelebihan kalian .. !"

Maka segeralah menyerbu mengiringkannya sejumlah empat ratus orang dari golongan Anshar hingga sampailah mereka ke pintu gerbang taman bunga, lalu bertempur dengan gagah berani.

Ketika itu 'Abbad -- semoga Allah memberinya rahmat menemui syahidnya. Wajahnya saya lihat penuh dengan bekas sambaran pedang, dan saya mengenalnya hanyalah dengan melihat tanda yang terdapat pada tubuhnya ... !"

Demikianlah 'Abbad meningkat naik ke taraf yang sesuai untuk memenuhi kewajibannya sebagaiseorang Mu'min dari golongan Anshar, yang telah mengangkat bai'at kepada Rasul untuk membaktikan hidupnya bagi Allah dan menemui syahid di jalan-Nya ...

Dan tatkala pada permulaannya dilihatnya neraca pertempuran sengit itu lebih berat untuk kemenangan musuh, teringatlah olehnya ucapan Rasulullah terhadap Kaumnya golongan Anshar: -- "Kalian adalah inti ... ! Maka tak mungkin saya dicederai oleh pihak kalian!"

Ucapan itu memenuhi rongga dada dan hatinya, hingga seolah-olah sekarang ini Rasulullah masih berdiri, mengulang-ulang kata-katanya itu ... 'Abbad merasa bahwa seluruh tanggung jawab peperangan itu terpikul hanya di atas bahu golongan Anshar semata ...atau di atas bahu mereka sebelum golongan lainnya ... ! Maka ketika itu naiklah ia ke atas sebuah bukit lalu berseru: -- "Hai golongan Anshar ... ! Pecahkan sarung-sarung pedangmu, dan tunjukkan keistimewaanmu dari golongan lain... !"

Dan ketika seruannya dipenuhi oleh empat ratus orang pejuang, 'Abbad bersama Abu Dajanah dan Barra' bin Malik mengerahkan rnereka ke taman maut, suatu taman yang digunakan oleh Musailamah sebagai benteng pertahanan…..dan pahlawan besar itu pun berjuanglah sebagai layaknya seorang laki-laki, sebagai seorang Mu'min ..., dan sebagai seorang warga anshar ....

Dan pada hari yang mulia itu, pergilah 'Abbad menemui syahidnya .,. ! Tidak salah mimpi yang dilihat dalam tidurnya semalam ,,. ? Bukankah ia melihat langit terbuka, kemudian setelah ia masuk ke celahnya yang terbuka itu, tiba-tiba langit

bertaut dan tertutup kembali... ! Dan mimpi itu dita'wilkannya bahwa pada pertempuran yang akan terjadi ruhnya akan naik ke haribaan Tuhan dan penciptanya.

Sungguh, benarlah mimpi itu dan benarlah pula ta'birnya ... ! Pintu-pintu langit telah terbuka untuk menyambut ruh 'Abbad bin Bisyir dengan gembira, yakni searang tokoh yang oleh Allah diberi cahaya....

Shilah

SHILAH BIN ASY-YAM AL-‘ADAWI (Ahli Ibadah Yang Pemberani, Singa Tunduk Padanya, Mati Syahid Berdua Putranya!)

Mukaddimah

Kisah ini sangat menarik sekali, sekaligus mengharukan. Betapa tidak? Bagaimana terkoleksi pada seorang tokoh dua sifat; seorang yang ahli ibadah tapi juga pemberani di medan perang. Ia menjadi rebutan para komandan pasukan Islam dalam peperangan mereka karena keberanian dan doanya. Ia bernasib mujur karena mendapatkan isteri yang ahli ibadah pula dan seorang putra yang pemberani. Kekhusyu’an shalatnya tidak terpengaruh oleh kedatangan singa yang hendak menerkamnya bahkan singa itu kemudian tunduk padanya… Kisah selanjutnya bagaimana, silahkan menikmati!

“Shilah Bin Asy-yam al-‘Adawi menuntut ilmu dari sebagian besar sahabat dan mencontoh cara hidup halal dan akhlak mereka,” (Ucapan al-Ashbahaani)

Shilah ibn Asyam al-‘Adawi seorang ahli ibadah dari para ahli ibadah malam...seorang pejuang dari para pejuang siang.

Apabila kegelapan telah menutupkan tirainya ke alam semesta dan manusia terlelap dalam tidur...ia pun bangkit dan menyempurnakan wudlu, kemudian ia berdiri di mihrabnya dan masuk dalam shalatnya serta mendapatkan suka cita dengan Rabbnya.

Maka, bersinarlah cahaya ilahi dalam dirinya, menyinari bashirahnya ke penjuru dunia...memperlihatkannya akan ayat-ayat Allah di ufuk.

Disamping itu semua, ia adalah orang yang hobby membaca al-qur’an di waktu fajar.

Apabila sepertiga malam terakhir telah tiba, ia mencondongkan bengkaunnya kepada juz-juz al-qur’an...Mulailah (lidahnya) mentartil ayat-ayat Allah yang jelas dengan suara merdu dan suara tangisan.

Terkadang ia mendapatkan kelezatan al-qur’an yang menyentuh ke dalam hatinya dan mendapatkan ketakutan kepada Allah dengan akal jernihnya.

Pada sisi lain, ia merasakan al-qur’an berisi ancaman yang memecah hatinya...

Shilah ibn Asyam tidak pernah bosan dari ibadahnya ini sekalipun. Tidak ada bedanya apakah di rumahnya atau dalam perjalanan, di saat sibuk atau di saat waktu luangnya.

Ja’far ibn Zaid menghikayatkan, “Kami keluar bersama salah satu dari pasukan muslimin dalam sebuah perang ke kota “Kabul“ (ibukota Afghanistan, terletak dekat sungai Kabul) dengan harapan Allah akan memberikan kemenangan kepada kami. Dan adalah Shilah ibn Asyam berada di tengah pasukan.

Ketika malam telah menutupkan tirainya –dan kami berada di tengah perjalanan-, para pasukan menurunkan bekalnya dan menyantap makanannya lalu menunaikan shalat ‘Isya...

Mereka kemudian pergi menuju ke kendaraannya mencari kesempatan untuk istirahat di sisinya... Maka, aku melihat Shilah ibn Asyam pergi menuju ke kendaraannya sebagaimana mereka pergi. Ia lalu meletakkan pinggangnya untuk tidur sebagaimana yang mereka lakukan.

Aku lantas berkata dalam hati, “Dimanakah yang orang-orang riwayatkan tentang shalatnya orang ini dan ibadahnya serta apa yang mereka sebarkan tentang shalat malamnya hingga kakinya bengkak?! Demi Allah, aku akan menunggunya malam ini hingga aku melihat apa yang dikerjakannya.”

Tidak lama setelah para prajurit terlelap dalam tidurnya...hingga aku melihatnya bangun dari tidurnya dan berjalan menjauh dari perkemahan, bersembunyi dengan gelapnya malam dan masuk ke dalam hutan yang lebat dengan pepohonannya yang tinggi dan rumput liar. Seakan-akan belum pernah dijamah sejak waktu yang lama
Aku berjalan mengikutinya...

Sesampinya ia di tempat yang kosong, ia mencari arah kiblat dan menghadap kepadanya. Ia bertakbir untuk shalat dan ia tenggelam di dalamnya...aku melihatnya dari kejauhan. Aku melihatnya berwajah berseri...tenang anggota badannya dan tenang jiwanya. Seakan-akan ia menemukan seorang teman dalam kesepian, (menemukan) kedekatan dalam jauh dan cahaya yang menerangi dalam gelap.

Di saat dia demikian...tiba-tiba muncul kepada kami seekor singa dari sebelah timur hutan. Setelah aku merasa aku merasa yakin darinya, bahwa yang datang itu macan hatiku serasa copot saking takutnya. Aku lalu memanjat sebatang pohon yang tinggi untuk melindungiku dari ancamannya.

Singa tersebut terus saja mendekat kepada Shilah ibn Asyam, sedangkan ia tenggelam dalam shalatnya hingga jaraknya tinggal beberapa langkah saja darinya...Dan demi Allah ia tidak menoleh kepadanya...tidak mempedulikannya...

Tatkala ia sujud, aku berkata, “Sekarang (saatnya) ia akan menerkamnya.” Ketika ia bangkit dari sujudnya dan duduk, singa itu berdiri di hadapannya seakan-akan memperhatikannya.

Ketika ia salam dari shalatnya, ia memengkaung kepada singa itu dengan tenang...dan menggerakkan kedua bibirnya dengan ucapan yang tidak aku dengar.

Dan tiba-tiba saja singa tersebut berpaling darinya dengan tenang, dan kembali ke tempat semula.

Di saat fajar telah terbit, ia bangkit untuk menunaikan shalat fardlu. Kemudian ia mulai memuji Allah AWJ dengan pujian-pujian yang aku belum pernah mendengar yang sepertinya sekalipun.

Ia kemudian berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu agar menyelamatkan aku dari neraka...Apakah seorang hamba yang berbuat salah seperti aku berani untuk memohon surga kepadaMu?!”
Ia terus saja mengulang-ulangnya hingga ia menangis dan membuatku ikut menangis.

Kemudian ia kembali ke pasukannya tanpa ada seorang pun yang tahu. Nampak di mata orang-orang, seakan-akan ia baru bangun dari tidur di kasur. Sedangkan aku kembali dari mengikutinya, dan aku merasa (lelah dari) begadang malam...badan penat...dan ketakutan terhadap singa...dan apa-apa yang Allah Maha Tahu dengannya.

Di samping itu semua, Shilah ibn Asyam tidak pernah membiarkan satu kesempatan dari kesempatan-kesempatan mauidzah dan peringatan kecuali ia memanfaatkannya.

Dan metodhe dakwahnya adalah ia menyeru kepada jalan Rabbnya dengan hikmah dan mauidzah hasanah. Jiwa-jiwa yang lari ia condongkan (dekatkan)...hati-hati yang keras ia lemahkan (lunakkan).
Di antaranya, bahwa ia pernah keluar ke daratan di tanah Bashrah untuk khalwah (menyepi) dan beribadah...

Lalu sekelompok pemuda yang akan bersenang-senang melewatinya... Mereka bermain-main...bersendau gurau dan bergembira... Ia (Shilah) menyalami mereka dengan halus...

Dan dengan lembut ia berkata kepada mereka, “Apa yang kalian katakan tentang suatu kaum yang ber’azm untuk safar karena suatu urusan besar, hanya saja mereka di waktu siang berbelok dari jalan untuk berbuat sia-sia dan bermain-main....dan di waktu malam mereka tidur untuk istirahat. Maka kapankah kalian melihat mereka menyelesaikan perjalanannya dan sampai di tempat tujuan?!”

Dan ia terbiasa mengucapkan kalimat tersebut di saat itu dan pada saat yang lain... Pada suatu ketika ia bertemu dengan mereka dan ia mengucapkan kata-katanya tersebut kepada mereka...

Maka, salah seorang pemuda dari mereka bangkit dan berkata, “Sesungguhnya dia –demi Allah- tidak memaksudkan perkataannya kepada siapapun selain kita. Kita di siang hari bermain-main....dan di malam hari tidur...”

Kemudian pemuda tersebut memisahkan diri dari teman-temannya dan mengikuti Shilah ibn Asyam sejak hari itu. Ia terus menemaninya hingga kematian menjemputnya.

Di antaranya pula, bahwa pada suatu siang ia pernah pergi bersama sekelompok sahabatnya kepada suatu tujuan. Lalu lewatlah di depan mereka seorang pemuda yang menakjubkan dan bagus penampilannya....
Pemuda tersebut memanjangkan kain celananya hingga ia menyeretnya di tanah seperti orang sombong...

Para sahabatanya lalu bermaksud (melakukan tindakan) terhadap pemuda tersebut, mereka ingin mencemoohnya dengan perkataan dan memukulnya dengan keras...

Maka Shilah berkata kepada mereka, “Biarkan aku, yang akan menyelesaikan urusannya.”

Ia mendekati pemuda tersebut dan berkata dengan kelembutan seorang ayah yang penuh sayang...dan bahasa seorang sahabat yang jujur, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya aku punya hajat kepadamu.”

Pemuda itu berhenti, dan berkata, “Apa itu wahai paman?” Ia berkata, “Hendaklah kamu mengangkat kainmu, sesungguhnya yang demikian itu lebih suci untuk pakaianmu...lebih bertakwa kepada Rabbmu...dan lebih dekat dengan sunnah Nabimu.”

Dengan rasa malu pemuda itu berkata, “Ya, dengan senang hati...” Kemudian ia segera mengangkat kainnya.

Shilah berkata kepada sahabatnya, “Sesungguhnya yang seperti ini lebih baik daripada apa yang kalian inginkan...kalau seengkauinya kalian memukulnya dan mencemoohnya niscaya ia akan memukul dan mencemooh kalian...dan tetap membiarkan kainnya menjulur menyapu tanah.”

Pada suatu kali seorang pemuda dari Bashrah mendatangainya dan berkata, “Wahai Abu ash-Shahbaa, ajari aku apa-apa yang telah Allah ajarkan kepadamu.”

Maka Shilah tersenyum dan berseri wajahnya, dan ia berkata, “Sungguh kamu telah mengingatkan aku -wahai anak saudaraku- tentang kenangan lama yang tidak aku lupakan...dimana pada saat itu aku seorang pemuda sepertimu...Aku mendatangi orang yang tersisa dari sahabat Rasulullah SAW, dan aku berkata kepada mereka, “Ajarilah aku apa-apa yang telah Allah ajarkan kepada kalian.” Mereka berkata, “Jadikanlah al-Qur’an sebagai penjaga jiwamu dan kebun hatimu. Dengarkan nasehatnya dan nasehatilah kaum muslimin dengannya. Perbanyaklah berdoa kepada Allah AWJ semampumu.”

Anak muda itu berkata, “Berdoalah untukku, semoga engkau dibalasi dengan kebaikan.”

Ia menjawab, “Semoga Allah menjadikanmu senang (antusias) untuk memperoleh yang kekal (akhirat)...dan menjadikanmu zuhud terhadap yang fana (dunia)...dan menganugrahkan keyakinan kepadamu yang mana jiwa menjadi tenang kepadanya, dan dibutuhkan kepadanya dalam agama.”

Shilah memiliki seorang misan perempuan bernama “Mu’âdzah Al-‘Adawiyah.”..Dia adalah seorang tabi’in sepertinya...di mana ia pernah bertemu dengan ummul mukminin ‘Aisyah RA dan mengambil ilmu darinya.

Kemudian al-Hasan al-Bashri –semoga Allah mengharumkan ruhnya- berjumpa dengannya dan mengambil (ilmu) darinya.

Ia seorang wanita yang bertakwa dan suci...taat ibadah dan zuhud. Di antara kebiasaannya adalah apabila malam tiba, ia berkata, “Bisa jadi ini adalah malam terakhir bagiku, maka janganlah kamu tidur hingga pagi....” Dan apabila siang tiba, ia berkata, “Mungkin ini adalah hari terakhir bagiku, maka janganlah pinggang ini merasa tenang hingga sore.”

Di musim dingin, ia mengenakan pakaian yang tipis sehingga rasa dingin menghalanginya untuk condong kepada tidur dan berhenti dari ibadah. Ia menghidupkan malamnya dengan shalat dan banyak beribadah.

Apabila rasa kantuk mengalahkannya ia berjalan berputar-putar di rumahnya dan berkata, “Wahai jiwa, di depanmu ada tidur panjang...besok kamu akan tidur panjang di kuburan...entah di atas penyesalan atau di atas kesenangan. Maka pilihlah untuk dirimu wahai Mu’aadzah pada hari ini apa yang kamu sukai agar kamu besok menjadi apa.”

Shilah ibn Asyam walaupun begitu kuat dalam beribadah dan begitu tinggi zuhudnya tidaklah ia membenci sunnah Nabinya SAW (dalam hal menikah), ia lalu meminang anak perempuan pamannya (misannya) “Mu’aadzah” untuk dirinya.

Ketika hari disandingkannya ia kepada Shilah, keponakan laki-lakinya mengurusinya dan membawanya ke kamar mandi kemudian memasukkannya menemui istrinya di rumah yang diberi wewangian...
Setelah keduanya bersama-sama, ia berdiri shalat dua rakaat sunnah, ia (istrinya) berdiri shalat dengan shalatnya dan mengikutinya.

Kemudian sihir shalat menarik keduanya hingga keduanya berlanjut shalat bersama hingga fajar menjadi terang.

Di pagi harinya, keponakannya datang menemuinya dan berkata, “Wahai paman, anak perempuan pamanmu telah disandingkan kepadamu, lalu kamu berdiri shalat sepanjang malam dan kamu meninggalkannya.”

Ia menjawab, “Wahai anak saudaraku...sesungguhnya kemarin kamu telah memasukkan aku ke sebuah rumah yang dengannya kamu telah mengingatkan aku kepada neraka...kemudian kamu memasukan aku ke tempat lain yang dengannya kamu mengingatkan aku kepada surga...Pikiranku terus saja memikirkan keduanya hingga pagi.”

Anak muda itu berkata, “Apa itu wahai paman?!” Ia menjawab, “Sungguh kamu telah memasukkan aku ke kamar mandi, maka hawa panasnya telah mengingatkan aku akan panas neraka...kemudin kamu memasukkan aku ke rumah pengantin, sehingga bau harumnya mengingatkan aku kepada wangi surga...”

Shilah ibn Asyam bukan hanya orang yang banyak khasyah kepada Allah dan banyak bertaubat, ahli ibadah dan zuhud semata. Disamping itu ia adalah seorang penunggang kuda (prajurit) yang kuat dan pahlawan yang berjihad. Sedikit sekali medan pertempuran yang mengenal seorang pemberani yang lebih kuat darinya...lebih kuat jiwanya...dan lebih tajam tebasan pedangnya. Sehingga para panglima muslimin berlomba-lomba untuk menariknya kepada (pasukan) mereka.

Setiap dari mereka ingin memperoleh kemenangan dengan keberadaannya di perkemahannya, agar dengan karunia keberaniannya ia memetik kemenangan besar yang dicita-citakan.

Ja’far ibn Zaid meriwayatkan, ia menuturkan, “Kami keluar dalam suatu peperangan. Dan bersama kami ada Shilah ibn Asyam dan Hisyam ibn ‘Aamir...Ketika kami telah bertemu musuh, Shilah dan sahabatnya melesat dari barisan kaum muslimin dan keduanya menerobos kumpulan musuh, menusuk dengan tombak dan membabat dengan pedang, sehingga keduanya memberi pengaruh yang besar terhadap front depan pasukan. Maka sebagian panglima musuh berkata kepada sebagian yang lain, “Dua orang tentara muslimin telah menurunkan (menimpakan) kepada kita hal seperti ini, bagaimana jadinya apabila mereka seluruhnya memerangi kita? Tunduklah kalian kepada hukum muslimin dan tunduklah dengan taat kepada mereka.”

Pada tahun 76 H, Shilah ibn Asyam keluar dalam sebuah peperangan bersama pasukan muslimin menuju negeri Maa waraaun nahri* dan ia ditemani oleh anaknya.

Ketika kedua pasukan saling berhadapan, dan perang semakin berkecamuk. Berkatalah Shilah kepada anaknya, “Wahai anakku...majulah dan perangilah musuh-musuh Allah sehingga jika kamu syahid, aku akan mengharap pahalanya dari Allah Dzat yang tidak akan pernah hilang titipan-titipan di sisi-Nya.”

Pemuda tersebut melesat memerangi musuh layaknya anak panah yang melesat dari busurnya, ia terus saja bertempur hingga jatuh tersungkur syahid.

Tidak berlangsung lama, sehingga ayahnya pergi mengikutinya. Ia terus berjihad sehingga mati syahid di sampingnya.

Ketika berita kematian keduanya sampai ke Bashrah, para wanita segera menemui “Mu’aadzah al-Adawiyah” untuk menghiburnya. Ia lalu berkata kepada mereka, “Apabila kalian datang untuk mengucapkan selamat kepadaku, maka selamat datang atas kalian...namun apabila kalian datang untuk hal lain, maka kembalilah dan semoga kalian dibalasi dengan kebaikan...”

Semoga Allah menjadikan wajah-wajah yang mulia ini berseri... Dan semoga Allah membalasinya dengan kebaikan atas Islam dan Muslimin. Sejarah manusia tidak mengenal yang lebih bertakwa dan lebih suci darinya.

CATATAN KAKI:
* Negeri Maa Waraun Nahri adalah negeri-negeri yang saat ini terletak di Turkistan yang di jajah oleh Rusia dan menghitungnya bagian dari negerinya

RUJUKAN:

Sebagai tambahan tentang Shilah bin Asy-yam, lihat:
1. Ath-Thabaqatul Kubra oleh Ibn Sa’d: 7/134
2. At-Tarikhul Kabir: 4/321
3. Al-Kuna: 2/13
4. Al-Jarh wat Ta’diil: 4/447
5. Hilyatul Auliyaa: 2/237
6. Usdul Ghaabah: 4/34
7. Tarikhul Islam: 3/19
8. Al-Bidayah wan Nihayah: 9/15
9. Al-Ishabah: 2/200
10. Thabaqat Khalifah dan Shifatush Shafwah oleh Ibnul Jauzi




Imam Bukhari

Riwayat Singkat Imam Bukhari

Beliau dilahirkan pada bulan syawal tahun 194 H di negeri bukhara, yang sekarang di kenal sebagai bagian dari negeri soviet. Beliau adalah seorang yang sangat alim di bidang hadits. Beliau menyusun sebuah kitab yang kesahihannya telah disepakati oleh umat islam dari jaman dahulu hingga sekarang.

Imam bukhari pernah ditanya oleh seseorang:' Bagaimana mulanya engkau berkecimpung dalam bidang hadits ini? Maka beliau mengatakan : saya diilhami untuk menghafal hadits ketika saya bersama dengan para penulis hadits. Berapa usiamu pada waktu itu? Dia menjawab 10 tahun, atau kurang. Saya lalu keluar dari kelompok para penulis itu dan selanjutnya saya selau menemani ad dakhili dan ulama lainnya. Ketika saya telah berkecimpung di bidang ini saya telah hafal ibnul mubarak dan waqi'. Saya lalu pergi ke Mekkah bersama ibu dan saudaraku , sesudah selesai berhaji , saudaraku lalu mengantarkan ibuku pulang, sedangkan saya memperdalam dan mematangkan diri dalam bidang hadits.

Imam bukahari selanjutnya berkelana ke berbagai daerah seperit nisabur, baghdad, bashrah, kufah, mekkah, madinah, syam dan mesir untuk mendapatkan hadits dari sejumlah ulama.

Beliau menulis kitabnya yang bernama tarikh di masjid nabawi, sejumlah buku yang memuat nama-nama rijal ( Orang).

Imam bukhari pada waktu kecil pernah mendatangi para ulama yang sedang bersama para muridnya, karena beliau masih kecil beliau malu memberi salam pada mereka. Suatu ketika beliau ditanya oleh seorang alim: berapa hadits yang sudah kau tulis hari ini? Imam bukhari menjawab: Dua" orang-orang yang ada di sekitarnya mentertawakannya. Alim itu pun berkata" kalian jangan mentertawakannya, boleh jadi suatu hari kalian akan ditertawakannya.

Beliau berkata: suatu kali saya bersama ishak ibnu rahawaih, lalu ada sejumlah temanku yang berkata kepadaku " alangkah baiknya kalau sekiranya engkau kumpulkan sunnah nabi sholallohu alaihi wasalam dalam sebuh kitab yang singkat. Hal tersebut mengena dalam hatiku , maka saya mulai mengumpulkannya dalam kitab ini (Kitab sahih Bukhari).

Beliau berkata : kitab ini saya pilihkan dari 600 ribu hadits. beliau juga berkata : tidaklah aku tulis satu hadits dalam kitab ini kecuali saya wudlu/mandi dan sholat dua rekaat.

Imam bukari berkata: saya menulis hadits dari 1000 orang alim atau lebih. Tidak ada satu pun hadits yang ada padaku kecuali kusebutkan isnadnya.

Imam bukhari meninggal pada tahun 256 H pada malam hari raya idhul fitri pada usia 62 tahun. Kubur beliau terletak di bikharnatk dekat dengan samarkand.

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah

Biografi Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah Ta'ala

Beliau adalah Syamsuddin Abu 'Abdillah Muhammad bin Abubakar bin Ayyub bin Su'ad bin Hariz az-Zar'i ad-Dimasyqi, dan dikenal dengan sebutan Ibnul Qoyyim. Beliau adalah ahli fiqih bermazhab Hanbali. Disamping itu juga seorang ahli Tafsir, ahli hadits, penghafal Al-Quran, ahli ilmu nahwu, ahli ushul, ahli ilmu kalam, sekaligus seorang mujtahid. Beliau adalah salah seorang murid seorang imam dan mujtahid, Syaikhul-Islam Taqiyuddin Ahmad ibn Taymiyyah al-Harani ad-Dimasyqi yang wafat tahun 728 H.

Ibn Rajab menuturkan bahwa Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah telah menerima pengeyahuan dari asy-Syihab an-Nabulsi dan juga dari yang lainnya. Ia juga telah menekuni nazhabnya, cakap dan mampu memberikan fatwa. Ia senantiasa menyertai Ibn Taymiyyah sekaligus mengambil ilmu dari beliau. dan menguasai ilmu-ilmu Islam. Ia adalah seorang ahli tafsir yang tiada bandingnya dan sekaligus ahli ilmu ushuluddin. Ia menguasai ilmu hadits berikut makna-maknanya, pemahamannya serta dasar-dasar pengambilan hukum darinya.

Selain itu ia menguasai pula ilmu fiqih, ushul fiqih dan bahasa arab, di samping mahir dalam bidang menulis. Ia pun menguasai ilmu kalam dan ilmu-ilmu lainnya. Ia juga seorang alim dalam hal ilmu suluk dan menguasai wacana ahli tasawuf dan tidak menolak sama sekali tasawuf. Kuatnya kesadaran akan perjalanannya ke alam kubur memotivasinya untuk menyebarkan ilmunya.

Selain itu Imam Ibnul-Qoyyim juga seorang ahli ibadah dan senantiasa menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkannya. Ia mengalami beberapa kali ujian penjara bersama Syaikh Ibn Taymiyyah. Dalam kesempatan terakhir, ia berada di penjara sendirian dan baru dilepaskan setelah syaik Ibn Taymiyyah meninggal. Ia menunaikan haji beberapa kali. Orang-orang banyak mengambil ilmu dan memperoleh manfaat darinya.

Sementara itu, Burhanuddin Az-Zar'i mengatakan bahwa tidak ada di bawah ufuk bumi ini yang lebih luas ilmunya daripada Ibnul-Qoyyim . Dia telah menulis dengan tangannya karya-karya yang tak dapat digambarkan dan menyusun sejumlah karangan yang banyak sekali tentang berbagai ilmu.

Ibnul-Qoyyim meninggal dunia pada waktu isya' tanggal 18 Rajab 751 H. Ia dishalatkan di Mesjid Jami' Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami' Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir.

Al Imam Fudhail

Al Imam Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah
Beliau dilahirkan di Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda, suatu tempat di daerah Khurasan.Tidak ada riwayat yang jelas tentang kapan beliau dilahirkan, hanya saja beliau pernah menyatakan usianya waktu itu telah mencapai 80 tahun, dan tidak ada gambaran yang pasti tentang permulaan kehidupan beliau.

Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa dulunya beliau adalah seorang penyamun, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada beliau dengan sebab mendengar sebuah ayat dari Kitabullah.Disebutkan dalam Siyar A’lam An-Nubala dari jalan Al-Fadhl bin Musa, beliau berkata: “Adalah Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya seorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَماَ نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتاَبَ مِنْ قَبْلُ فَطاَلَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَكَثِيْرٌ مِنْهُمْ فاَسِقُوْنَ

Belumkah datang waktunya bagi orang –orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang –orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Al Hadid: 16)

Maka tatkala mendengarnya beliau langsung berkata: “Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Maka beliaupun kembali, dan pada malam itu ketika beliau tengah berlindung di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka berkata: “Kita jalan terus,” dan sebagian yang lain berkata: “Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Maka beliaupun berkata: “Kemudian aku merenung dan berkata: ‘Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin di situ ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”

Sungguh beliau telah menghabiskan satu masa di Kufah, lalu mencatat ilmu dari ulama di negeri itu, seperti Manshur, Al-A’masy, ‘Atha’ bin As-Saaib serta Shafwan bin Salim dan juga dari ulama-ulama lainnya. Kemudian beliau menetap di Makkah. Dan adalah beliau memberi makan dirinya dan keluarganya dari hasil mengurus air di Makkah. Waktu itu beliau memiliki seekor unta yang beliau gunakan untuk mengangkut air dan menjual air tersebut guna memenuhi kebutuhan makanan beliau dan keluarganya.

Beliau tidak mau menerima pemberian-pemberian dan juga hadiah-hadiah dari para raja dan pejabat lainnya, namun beliau pernah menerima pemberian dari Abdullah bin Al-Mubarak.Dan sebab dari penolakan beliau terhadap pemberian-pemberian para raja diduga karena keraguan beliau terhadap kehalalannya, sedang beliau sangat antusias agar tidak sampai memasuki perut beliau kecuali sesuatu yang halal.

Beliau wafat di Makkah pada bulan Muharram tahun 187 H.
(Diringkas dari Mawa’izh lil Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh, hal. 5-7)

Abu Hanifah-2

ABU HANIFAH- 2-habis (Sikap Bela Agama Dan Argumentasinya Yang Kuat)

“Abu Hanifah an-Nu'man adalah seorang yang sangat keras pembelaannya terhadap hak-hak Allah yang tidak boleh dilanggar, banyak diam dan selalu berfikir.” (Imam Abu Yusuf)

Pada suatu hari Abu Hanifah mendatangi majlis Imam Malik yang sedang berkumpul dengan para sahabatnya, maka tatkala ia keluar (karena pengajian sudah bubar), berkatalah Imam Malik kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, “Apakah kalian tahu siapa orang itu.?” Mereka menjawab, “Tidak.” Kemudian sang Imam berkata, “Ia adalah an-Nu'man bin Tsabit, seorang yang apabila mengatakan bahwasanya tiang masjid ini adalah emas maka perkataannya itu tentulah menjadi hujjah dan sungguh benar-benar tiang itu akan keluar seperti yang dikatakannya itu.”

Tidaklah Imam Malik berlebihan dalam mensifati Abu Hanifah dengan hal demikian karena memang ia memiliki hujjah yang kuat, kecepatan dalam megambil keputusan yang tepat dan ketajaman dalam berfikir.

Kitab-kitab sejarah telah menceritakan bagaimana pendirian dan sikapnya terhadap para penentang dan musuh-musuhnya dalam hal ra'yu dan aqidah, yang kesemuanya itu menjadi saksi akan kebenaran apa yang dikatakan oleh Imam Malik tentang Abu Hanifah, yang mana jika seandainya ia mengatakan bahwasanya pasir yang ada di depanmu adalah emas maka tidak ada alasan bagi kamu kecuali percaya dan menerima terhadap apa yang ia katakan. Maka bagaimana halnya jika ia mendebat tentang kebenaran.?

Sebagai satu contoh apa yang terjadi dengan salah seorang dari Kufah yang disesatkan Allah ia adalah seorang yang terpandang di mata sebagian orang dan kata-katanya didengar oleh mereka. Ia mengatakan kepada orang-orang bahwasanya Utsman bin Affan pada asalnya adalah seorang yahudi dan ia tetap menjadi yahudi setelah datangnya agama Islam. Maka demi mendengar perkataannya tersebut Abu Hanifah menghampirinya dan berkata, “Saya datang kepadamu hendak melamar anak perempuanmu untuk salah seorang sahabatku.”

Ia menjawab, “silahkan wahai Imam, sesungguhnya orang seperti dirimu tidak akan ditolak apabila meminta sesuatu, tetapi kalau boleh tahu siapakah orang yang mau menikahi anak perempuanku itu.?”

Abu Hanifah menjawab, “seseorang yang dikenal oleh kaumnya dengan kemuliaan dan kekayaan, dermawan dan ringan tangan serta suka membantu orang lain, hafal kitab Allah Azza wa Jalla, selalu menghidupkan seluruh malamnya untuk beribadah dan banyak menangis karena takutnya kepada Allah.”

Maka orang itu berkata, “cukuplah wahai Abu Hanifah, sesungguhnya sebagian dari sifat yang engkau sebutkan tadi telah menjadikan orang itu pantas untuk menikahi anak perempuan Amirul Mu'minin.”

Kemudian Abu Hanifah berkata lagi, “akan tetapi ia memiliki satu sifat yang harus engkau pertimbangkan.”

Ia bertanya, “apakah sifat tersebut.” Sang Imam menjawab, “sesungguhnya ia adalah seorang yahudi.”

Maka setelah mendengar jawaban tersebut ia terguncang kaget seraya berkata, “ia seorang yahudi? apakah engkau akan memintaku untuk menikahkan anak perempuanku dengan seorang yahudi wahai Abu Hanifah?! Demi Allah aku tidak akan melakukannya sekalipun ia memiliki semua sifat baik dari kaum terdahulu hingga yang terakhir.”

Maka Abu Hanifah pun berkata, “engkau menolak untuk menikahkan anak perempuanmu dengan seorang yahudi dan engkau sangat mengingkarinya, kemudian engkau mengatakan kepada orang banyak bahwasanya Rasulullah SAW telah menikahkan kedua putri beliau dengan seorang yahudi !!”

Maka demi mendengar apa yang dikatakan Abu Hanifah tubuhnya bergetar kemudian berkata, “aku memohon ampun kepada Allah dari perkataan jelek yang telah aku katakan, dan aku bertaubat kepada-Nya dari kedustaan yang pernah aku lakukan.”

Contoh yang lain adalah apa yang terjadi pada salah seorang Khawarij* yang bernama adh-Dhahhak asy-Syary. Pada suatu hari ia mendatangi Abu Hanifah dan berkata, “Bertaubatlah engkau wahai Abu Hanifah.”

Sang Imam menjawab, “Dari hal apakah aku bertaubat?” Orang itu menjawab, “Dari perkataanmu tentang dibolehkannya menentukan satu hakim untuk memutuskan apa yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah.”

Abu Hanifah berkata, “Apakah engkau mau berdebat denganku tentang masalah ini?” ia menjawab, “Ya”

Kemudian Abu Hanifah berkata, “Jika kita berselisih tentang apa yang kita perdebatkan, siapakah yang akan menjadi hakim antara kita” Orang itu menjawab, “Pilihlah yang engkau mau.”

Maka sang Imam memandang salah seorang temannya dan berkata, “Wahai fulan, jadilah engkau penengah di antara kami tentang apa yang kami perselisihkan”

Selanjutnya ia berkata kepada Sang khawarij, “Aku ridlo temanmu menjadi penengah antara kita, apakah kamu juga demikian?” Maka dengan senang hati ia menjawab, “Tentu”

Namun kemudian Abu Hanifah berkata, “Celakalah kamu, bagaimana kamu membolehkan adanya penengah di antara kita tentang apa yang kita perselisihkan, sedangkan kamu mengingkari adanya di antara dua sahabat Rasulullah SAW?!

Maka orang terebut diam seribu bahasa dan tidak dapat menjawabnya.

Kemudian di antara contoh lainnya adalah kisah perdebatan beliau dengan Jahm bin Shafwan seorang pemimpin aliran Jahmiyah yang sesat dan seorang yang menanam kejelekan di bumi Islam. Pada suatu saat ia mendatangi Abu Hanifah dan berkata, “Aku ingin berbincang-bincang denganmu tentang beberapa perkara yang telah aku siapkan.” Akan tetapi Abu Hanifah menjawab, “berbincang-bincang denganmu adalah merupakan aib, dan membicarakan tentang apa yang kamu yakini adalah seperti api yang menyala.”

Maka Jahm berkata, “bagaimana engkau menghukumiku demikian, sedangkan engkau belum pernah bertemu denganku sebelumnya dan belum pernah mendengar perkataanku?” Kemudian Abu Hanifah menjawab, “sesungguhnya hal yang demikian telah tersebar dan terkenal di kalangan orang awam maupun para ulama, sehingga boleh bagiku untuk berkata demikian karena berita tentangmu telah mutawatir.”

Setelah itu Jahm berkata lagi, “aku tidak akan bertanya kepadamu kecuali tentang iman.” Abu Hanifah menyela, “apakah sampai saat ini kamu belum tahu tentang iman sehingga kamu bertanya kepadaku tentangnya?”

Jahm menjawab, “aku tahu, akan tetapi aku merasa ragu pada salah satu macamnya.” Abu Hanifah berkata, “ragu dalam hal keimanan adalah kufur.” Kemudian Jahm berkata, “kamu tidak boleh mensifatiku dengan kekufuran sebelum kamu mendengar apa yang membuatku kafir,”

Maka Abu Hanifah berkata, “katakan apa yang ingin kamu tanyakan!” Jahm berkata, “kabarkanlah kepadaku tentang seorang yang meyakini akan keberadaan Allah dengan hatinya, dan ia yakin bahwasanya Allah adalah Esa dan tiada sekutu baginya. Ia juga tahu tentang sifat-sifat Allah dan yakin bahwasanya tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Kemudian ia mati akan tetapi tidak menyatakan keimanannya itu dengan lisannya. Apakah ia mati dalan keadaan mukmin atau kafir.?”

Abu Hanifah menjawab, “ia mati dalam keadaan kafir dan termasuk ahli neraka jika ia tidak menyatakan dengan lisannya tentang apa yang diyakini hatinya, kecuali jika ada sesuatu sebab yang menghalanginya untuk menyatakan keimanan dengan lisannya.”

Kemudian Jahm membantah dengan berkata, “bagaimana ia tidak menjadi mukmin sedangkan ia telah benar-benar meyakini adanya Allah.?”

Maka kemudian Abu Hanifah berkata, “jika kamu beriman kepada al-Qur'an dan kamu menjadikannya sebagai hujjah maka aku akan menjawab pertanyaanmu dengannya, tapi jika kamu tidak mengimani al-Qur'an dan kamu tidak memandangnya sebagai hujjah, maka aku akan menjawab pertanyaanmu dengan sesuatu yang biasa kami katakan kepada orang yang menyelisihi Islam.”

Akan tetapi kemudian Jahm menjawab, “justru aku mengimani al-Qur'an dan menjadikannya sebagai hujjah.”

Maka Abu Hanifah menjawab, “sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala telah menjadikan keimanan itu dengan dua anggota badan yaitu hati dan lisan, tidak dengan salah satunya, dan yang demikian itu telah di sebutkan dalam Kitab Allah al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW, diantaranya adalah: Firman Allah Ta'ala, “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi atas (kebenaran al-Qur'an dan kenabian Muhammad s.a.w) Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih?” Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).”( al-Maidah: 83-85)

Disebutkan dalam ayat di atas bahwasanya mereka meyakini kebenaran dengan hati dan menyatakannya dengan lisan, maka karena apa yang mereka ucapkan Allah memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.

Dia juga berfirman, “Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepda Musa dan 'Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-Nya.”( Al-Baqarah: 136)

mereka diperintah untuk melafadzkan keimanan mereka dan tidak cukup hanya dengan hati.

Di dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Katakanlah, Laa ilaaha illallaah, maka kalian akan selamat.” beliau tidak menjadikan keselamatan hanya dengan keyakinan hati, akan tetapi harus disertai dengan dengan ucapan.

Di dalam hadits yang lain beliau SAW bersabda, “akan keluar dari neraka orang yang mengatakan Laa ilaaha illallaah.” Beliau tidak mengatakan, akan keluar dari neraka orang yang tahu adanya Allah. Dan jikalau perkataan itu tidak dibutuhkan, akan tetapi cukup keimanan itu hanya dengan hati, maka iblis itu termasuk orang yang beriman. Karena iblis tahu bahwasanya Allah itu ada, ia tahu bahwasanya Allah lah yang telah menciptakannya dan Allah pula yang akan mematikannya. Ia juga yakin bahwasanya Allah yang akan membangkitkannya dan Allah pula yang menyesatkannya.

Disebutkan dalam al-Qur'an bahwasanya iblis berkata, “Engkau menciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” Al-A'raaf: 12 “Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.” (Al-Hijr: 36) “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.”(al-A'raaf: 16)

Dan jika apa yang engkau yakini adalah benar wahai Jahm, maka sebagian banyak orang kafir menjadi beriman karena mereka mengakui adanya Allah dengan hatinya walaupun mereka mengingkari dengan lisan mereka.

Allah berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya.” (An-Naml:14)

Keyakinan yang ada di hati mereka tidak dapat menjadikan mereka beriman, akan tetapi mereka tetap orang kafir karena pengingkaran lisan mereka.

Demikianlah Abu Hanifah menjelaskan tentang permasalahan iman dengan sangat gamblangnya, kadang dengan al-Qur'an dan terkadang dengan hadits, sehingga tampak pada wajah Jahm rasa minder dan kalah sampai kemudian ia berpamitan kepada Abu Hanifah seraya berkata, “engkau telah mengingatkanku akan sesuatu yang terlupa, aku pamit sebentar.” Akan tetapi ia pergi tanpa kembali lagi.

Di antara contoh yang lain, diceritakan bahwasanya pada suatu saat Abu Hanifah menemui sekelompok orang yang mengingkari adanya Sang Pencipta (Atheis), maka ia berkata kepada mereka, “Apa yang kalian katakan jika ada sebuah kapal yang penuh dengan muatan barang, di tengah lautan ia dikelilingi oleh ombak besar yang saling bertabrakan dan diterjang oleh angin yang sangat kencang, akan tetapi kapal tersebut dapat berlayar dengan sangat tenang menuju tempat tujuan tanpa adanya goncangan sedikitpun, sedangkan di atas kapal tersebut tidak ada seorang nahkodapun didalamnya. Apakah hal tersebut masuk akal?” Mereka menjawab, “Tidak, sesungguhnya kejadian tersebut sama sekali tidak dapat diterima oleh akal”

kemudian ia berkata, “Begitukah? Subhaanallah!! Kalian mengingkari adanya sebuah kapal yang dapat berjalan dengan tenang tanpa nahkoda, sedangkan kalian meyakini bahwasanya alam semesta yang penuh dengan lautan luas, gugusan bintang yang selalu beredar, burung-burung yang selalu bertashbih dan berbagai macam binatang ada (tercipta) dengan sendirinya tanpa ada Sang Pencipta yang menciptakan dan mengatur semua itu? Celakalah kalian.!”

Demikianlah perjalanan hidup beliau yang selalu membela agama Allah dengan apa yang telah dianugerahkan oleh-Nya yang berupa kekuatan berhujjah dan kefasihan dalam berbicara.

Kemudian tatkala maut menjemput, telah ditemukan bahwasanya di antara wasiat beliau adalah agar jasadnya dikuburkan di tanah yang bersih (tidak ada syubhat rampasan atau lainnya) dan agar dijauhkan dari setiap tempat yang dikhawatirkan diambil dengan ghosob (diambil tanpa seizin pemiliknya).

Maka tatkala wasiat tersebut sampai ke telinga al-Manshur ia berkata, “siapakah yang berani mencela dia di depanku.?”

Abu Hanifah juga telah berwasiat agar jasadnya dimandikan oleh al-Hasan bin 'Ammaroh, maka tatkala memandikannya ia berkata, “Semoga Allah merahmatimu wahai Abu Hanifah, dan semoga Dia menghapus dosa-dosamu sebagai balasan dari apa yang pernah engkau lakukan. Sesungguhnya engkau tidak pernah berbuka sejak tiga puluh tahun, dan tidak pernah tidur sejak empat puluh tahun. Dan sungguh engkau telah membikin susah ulama setelahmu (karena harus mencontoh dan meniru perilakumu).”

CATATAN:
* Al-Khawarij: orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Ali dan Mu'awiyah RA

Abu Hanifah

ABU HANIFAH-1 (Ulama Yang Juga Tajir)

“Saya tidak pernah melihat seorang yang lebih berakal, lebih mulia dan lebih wara' dari Abu Hanifah.” (Yazid bin Harun)

Sekilas tentang kehidupannya

Abu Hanifah memiliki wajah bagus dan rupa nan elok serta ucapan yang fasih dan manis. Ia tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu pendek, selalu memakai pakaian yang bagus dan enak dipandang, demikian juga suka memakai minyak wangi, orang akan mengetahui Abu Hanifah dari bau harum minyak wanginya sebelum ia terlihat. Itulah an-Nu'man bin Tsabit bin al-Marzuban yang dikenal dengan nama Abu Hanifah, orang yang pertama kali menyingkap keutamaan dan keistimewaan yang ada dalam ilmu fiqih.

Abu Hanifah mendapati masa akhir kekhilafahan Bani Umayyah dan awal masa pemerintahan Bani Abbas. Ia hidup di sebuah masa yang mana para penguasa sering menghadiahkan harta kepada orang-orang yang berjasa kepada negara, mereka sering mendapatkan harta yang sangat banyak tanpa mereka sadari.

Akan tetapi Abu Hanifah memuliakan ilmu dan dirinya dari hal demikian, ia bertekad untuk hidup dari hasil jerih payahnya sendiri, sebagaimana ia juga bertekad agar tangannya selalu di atas (selalu memberi).

Pada suatu waktu al-Manshur memanggil Abu Hanifah ke rumahnya, maka tatkala ia sampai, al-Manshur memberi salam penghormatan dan sambutan yang sangat hangat serta memuliakannya, kemudian duduk di dekat Abu Hanifah dan mulai bertanya tentang permasalahan-permasalahan duniawi dan ukhrowi.

Di saat Abu Hanifah hendak pamit, al-Manshur memberinya sebuah kantung yang berisi tiga puluh ribu dirham –meskipun diketahui bahwa al Manshur termasuk orang yang pelit- maka Abu Hanifah berkata kepadanya, “Wahai Amirul mu'minin, sesungguhnya aku adalah orang asing di Baghdad, aku tidak memiliki tempat untuk menyimpan uang sebanyak ini dan aku takut kalau nanti ia akan hilang, maka dari itu jika boleh aku minta tolong agar ia disimpankan di Baitul Mal sehingga jika aku membutuhkan aku akan mengambilnya.”

Kemudian al Manshur mengabulkan permintaannya. Akan tetapi setelah kejadian itu, Abu Hanifah tidak hidup lama. Ketika ajal menjemput, ditemukan di rumahnya harta titipan orang banyak yang jumlahnya melebihi tiga puluh ribu dirham, maka tatkala al Manshur mendengar akan hal itu ia berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah, dia telah memperdayaiku. Ia telah menolak sesuatu pun dari pemberian kami.”

Yang demikian itu tidaklah aneh, karena Abu Hanifah meyakini bahwasanya tidaklah seseorang makan satu suap lebih suci dan lebih mulia dari hasil jerih payahnya sendiri. Oleh karena itu, kita mendapati bahwa sebagian hidupnya adalah untuk berniaga. Ia berdagang al-Khiz (tenunan dari sutera dan bulu) dan bermacam pakaian yang terbuat darinya. Ia berdagang pulang pergi dari kota ke kota yang berada di Iraq. Ia memiliki sebuah toko terkenal yang didatangi oleh banyak pengunjung karena mereka mendapati Abu Hanifah sebagai orang yang jujur dan amanah, di samping, mereka juga mendapatkan barang yang bagus di tokonya. Dari perdagangannya tersebut Abu Hanifah diberi anugerah oleh Allah berupa kekayaan yang melimpah.

Jika sampai masa satu tahun dari perdagangannya ia menghitung seluruh laba dan kemudian mengambil dari laba tersebut apa yang mencukupinya, setelah itu sisanya ia belikan barang-barang kebutuhan bagi para Qari, ahli hadits, ulama fiqih dan para penuntut ilmu dan juga membelikan makanan dan pakaian bagi mereka. Kemudian setiap dari mereka diberi sejumlah uang seraya berkata, “Ini adalah laba dari barang dagangan kalian yang diberi oleh Allah melalui tanganku, Demi Allah aku tidaklah memberi kalian sedikitpun dari hartaku, akan tetapi ia adalah karunia dari Allah bagi kalian melalui tanganku. Tidaklah seseorang memiliki daya untuk mendapatkan rizki kecuali dari Allah.”

Kabar tentang kedermawanan Abu Hanifah telah tersebar di timur dan barat, khususnya di kalangan para sahabat dan teman dekatnya. Sebagai suatu contoh, pada suatu hari seorang temannya pergi ke tokonya dan berkata, “Sesungguhnya aku membutuhkan pakaian dari bahan al-Khizz, wahai Abu Hanifah.” Abu Hanifah bertanya,”Apa warnanya?” Orang itu menjawab, “Begini dan begini.” “Sabar dan tunggulah sampai aku mendapatkan pakaian tersebut,” kata Abu Hanifah. Seminggu kemudian pakaian yang dipesan telah jadi, maka tatkala temannya itu melewati toko, Abu Hanifah memanggilnya dan berkata, “Aku punya pakaian yang kamu pesan.” Temannya merasa gembira dan bertanya kepada Abu Hanifah, “Berapa aku harus membayar pegawaimu?” “Satu dirham,” jawab Abu Hanifah. Ia merasa heran dan bertanya lagi, “Cuma satu dirham?” “Ya,” kata Abu Hanifah Temannya berkata, “Wahai Abu Hanifah, engkau tidak sedang bergurau bukan?”

Abu Hanifah manjawab, “Aku tidaklah bergurau, karena aku telah membeli pakaian ini dan yang satunya lagi dengan harga dua puluh dinar emas plus satu dirham perak, kemudian aku menjual salah satunya dengan dua puluh dinar emas sehingga tersisa satu dirham. Dan aku tidak akan mengambil untung dari teman dekatku sendiri.”

Pada waktu yang lain ada seorang perempuan tua datang ke tokonya dan memesan sebuah baju dari bahan al-Khizz, tatkala Abu Hanifah memberikan baju pesanannya, perempuan tua tadi berkata, “Sungguh aku adalah seorang perempuan yang sudah tua dan aku tidak tahu harga barang sedangkan baju pesananku adalah amanah seseorang. Maka juallah baju itu dengan harga belinya kemudian tambahkan sedikit laba atasnya, karena sesungguhnya aku orang miskin.”

Abu Hanifah menjawab, “Sesungguhnya aku telah membeli dua jenis pakaian dengan satu akad (transaksi), kemudian aku jual salah satunya kurang empat dirham dari harga modal, maka ambillah pakaian itu dengan harga empat dirham itu dan aku tidak akan meminta laba darimu.”

Pada suatu hari, Abu Hanifah melihat baju yang sudah usang sedang dipakai oleh salah seorang teman dekatnya. Ketika orang-orang-orang telah pergi dan tidak ada seorangpun di tempat itu kecuali mereka berdua, Abu Hanifah berkata kepadanya, “Angkat sajadah ini dan ambillah apa yang ada di bawahnya.” Maka temannya mengangkat sajadah tersebut, tiba-tiba ia menemukan di bawahnya seribu dirham. Kemudian Abu Hanifah berkata, “Ambil dan perbaikilah kondisi dan penampilanmu.” Akan tetapi temannya kemudian berkata, “Sesungguhnya aku seorang yang mampu (berkecukupan) dan sungguh Allah telah memberiku nikmat-Nya sehingga aku tidak membutuhkan uang tersebut.”

Berkata Abu Hanifah, “Jika Allah telah memberimu nikmat, maka di mana bekas dan tanda nikmata-Nya itu? Tidakkah sampai kepadamu bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya Allah suka melihat bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.” Karena itu, seyogyanya kamu memperbaiki penampilanmu agar temanmu ini tidak sedih melihatnya.”

Kedermawanan Abu Hanifah dan kebaikannya kepada orang lain telah sampai pada taraf di mana bila ia memberikan nafkah kepada keluarganya, maka ia pun mengeluarkan jumlah yang sama untuk orang lain yang menghajatkannya. Dan jika ia memakai baju baru maka ia akan membelikan orang-orang miskin baju yang seharga dengan baju barunya. Jika dihidangkan makanan di hadapannya, maka ia akan mengambil dua kali lipat dari apa yang biasa ia makan kemudian ia berikan kepada orang fakir.

Di antara hal yang diriwayatkan darinya adalah janjinya yang tidak akan bersumpah atas nama Allah di sela-sela perkataannya kecuali ia akan bersedekah dengan satu dirham perak. Kemudian lama-kelamaan janji pada dirinya itu ditingkatkan menjadi satu dinar emas. Sehingga setiap ia bersumpah atas nama Allah maka ia akan bersedekah sebanyak satu dinar.

Hafsh bin Abdur Rahman merupakan relasi dagang Abu Hanifah dalam sebagian perniagaannya. Ia menyiapkan barang-barang dagangan berupa al-Khizz dan mengirimnya bersamanya (Hafsh) ke sebgian kota yang ada di Iraq. Pada suatu waktu beliau menyiapkan untuk dibawa Hafsh barang dagangan yang banyak dan memberi tahu kepadanya bahwa di antara barang-barang tersebut ada yang cacat, ia berkata, “Apabila kamu mau menjualnya maka terangkanlah kepada pembeli tentang cacat yang ada pada barang tersebut.”

Maka kemudian Hafsh menjual semua barang yang dititipkan dan ia lupa untuk memberi tahu sebagian barang yang ada cacatnya kepada para pembeli. Ia telah berupaya mngingat-ingat orang-orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, tetapi tidak berhasil. Maka tatkala Abu Hanifah tahu akan hal itu dan tidak mungkinnya mengenali orang-orang yang telah membeli barang yang cacat itu, hatinya tidak tenang sampai ia bersedekah dengan harga semua barang yang diperdagangkan oleh Hafsh.

Di samping semua sifat yang telah disebutkan di atas, ia juga seorang yang baik dalam bergaul dengan orang lain, teman dekatnya akan merasa bahagia bila bersamanya dan orang yang jauh darinya tidak akan merasa tersakiti bahkan musuhnya sekalipun. Salah seorang sahabatnya pernah berkata, aku telah mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata kepada Sufyan ats-Tsauri, “Wahai Abu Abdillah, betapa jauhnya Abu Hanifah dari sifat menggunjing, aku sama sekali tidak pernah mendengar ia berkata tentang kejelekan musuhnya.” Maka Abu Sufyan berkata, “Sesungguhnya Abu Hanifah sangat waras sekali sehingga tidak mungkin melakukan hal yang dapat menghapus kebaikan-kebaikannya.”

Abu Hanifah adalah orang yang pandai mengambil hati manusia dan berusaha keras untuk melanggengkan persahabatan dengan mereka. Seperti diketahui bahwasanya jika saja ada orang asing yang duduk di majlisnya tanpa ada maksud dan keperluan, maka jika orang itu hendak pergi ia bertanya kepadanya, apabila orang itu mempunyai kebutuhan maka ia akan membantunya dan apabila sakit ia akan menjenguknya sampai orang itu menjadi teman yang dekat dengannya.

Di samping yang telah disebutkan itu semau, ia juga adalah seorang yang banyak berpuasa dan bangun malam (untuk shalat), berteman dengan al-Qur'an serta beristighfar meminta ampunan Allah pada penghujung malam. Dan di antara sebab ketekunannya dalam beribadah dan semangatnya adalah karena pada suatu waktu ia bertemu dengan sekelompok orang, lalu ia mendengar mereka berkata, “Sesungguhnya orang yang kamu lihat ini tidak pernah tidur malam.” Maka, begitu telinganya menangkap apa yang mereka katakan itu, berkatalah ia di dalam hati, “Sesungguhnya diriku di sisi manusia berbeda dengan apa yang aku lakukan di sisi Allah. Demi Allah, sejak saat ini tidak boleh ada lagi orang yang berkata tentangku apa yang tidak aku lakukan. Aku tidak akan tidur di malam hari hingga aku menjumpai Allah (wafat).”

Kemudian mulai hari itu, ia menghidupkan seluruh malamnya dengan beribadah kepada Allah. Di saat malam telah menjelang dan punggung telah menuju ke peraduan (tenggelam dalam tidur), ia bangun malam lalu memakai pakaian yang paling bagus, merapikan jenggot, memakai minyak wangi dan berhias, kemudian menuju mihrabnya dan mulai menghidupkan malam dengan khusyu' beribadah kepada Allah, larut dalam membaca al-Qur'an atau berdoa menengadahkan tangannya kepada Allah dengan penuh ketundukan.

Bisa jadi, ia membaca al-Qur'an 30 juz dalam satu rakaat atau mungkin saja ia menghidupkan seluruh malamnya dengan satu ayat saja.

Di dalam sebuah riwayat disebutkan bahwasanya pada suatu malam, ia menghidupkan seluruh malam dengan mengulang-ulang firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya, “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (al-Qamar:46) Sembari menangis tersedu-sedu, sebuah tangisan yang mengiris hati.

Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang melakukan shalat Shubuh dengan wudhu shalat 'Isya selama empat puluh tahun, tidak pernah sekal pun ia meninggalkan kebiasaan itu. Demikian juga, ia dikenal sebagai orang yang menghatamkan al-Qur'an di satu tempat di mana ia meninggal sebanyak 7000 kali.

Jika membaca surat az-Zalzalah, tubuhnya gemetar dan hatinya dirundung rasa ketakutan dan serta-merta ia memegang jenggotnya seraya mulai melantunkan, Wahai Dzat Yang membalas kebaikan dengan kebaikan walaupun hanya seberat dzarrah Wahai Dzat Yang membalas kejelekan dengan kejelekan walaupun seberat dzarrah Berilah perlindungan kepada hamba-Mu yang bernama an-Nu'man dari api neraka Jauhkanlah antara dirinya dengan sesuatu yang dapat mendekatkannya dari neraka Dan masukkanlah ia ke dalam luasnya rahmat-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dari sang pengasih

(SUMBER: Hayaah at-Taabi’iin karya Dr. Abdurrahman Ra`fat al-Basya, Jld.VI, h.127-144)

Imam At-Thahawi Al-Hanafi

Sekilas Biografi Imam At-Thahawi Al-Hanafi

Beliau adalah seorang imam pakar penghafal hadits. Nama beliau, Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Salaamah bin Salaamah bin Abdil Malik Al-Adzi Al-Hajari Al-Mishri Ath-Thahawi Al-Hanafi. Beliau dilahirkan di Buthha, sebuah desa di negeri Mesir, yang sekarang ini masuk wilayah muhafazah (setingkat kabupaten) al-Meniya. Belai dilahirkan pada tahun 239 H, ada juga yang mengatakan 237 H. dibesarkan dirumah kediaman yang penuh ilmu dan keutamaan. Ayah belai adalah seorang ulama. Sedangkan pamannya, Al-Imam Al-Muzanni, sahabat Al-Imam Asy-Syafi'I yang membantu menyebarluaskan ilmu beliau.

Al-Imam ath-Thahawi belajar pada pamannya sendiri Al-Muzanni dan mendengar periwayatan pamannya dari Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah. Tatkala beliau menginjak usia 20 tahun, beliau meninggalkan madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i, dan beralih ke madzhab Al-Imam Abu Hanifah.

Diantara guru-guru beliau selain pamannya, Al-Muzanni, juga Al-Qadhi Abu Ja'far Ahmad bin Imran Al-Baghdadi, Al-Qadhi Abu Khazim Abdul Hamid bin Abdul 'Aziz al-Baghdadi, Yunus bin Abdul 'Ala Al-Mishri dan lain-lain.

Diantara murid-murid beliau: Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Manshur, Ahmad bin Al-Qasim bin Abdillah Al-Baghdadi yang dikenal dengan Ibnul Khasysyab Al-Hafizh, Abul Hasan Ali bin Ahmad Ath-Thahawi dan lain-lain.

Al-Imam Ath-Thahawi adalah orang berilmu yang memiliki keutamaan. Beliau menguasai sekaligus Ilmu Fikih dan Hadits, serta cabang-cabang keilmuan lainnya. Baliau menjadi wakil dari Al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin 'Abdah, seorang qadhi di Mesir.

Ibnu Yunus memberi pernyataan tentang beliau: Beliau orang yang bagus hafalannya dan terpercaya, alim, jenius dan tak ada yang menggantikan beliau. Ibnul Jauzi dalam Al-Muntazham menyatakan: seorang penghafal yang terpercaya, bagus pemahamannya, alim dan jenius. Ibnu Katsir juga menyatakan dalam Al-Bidayah wa Nihayah :Beliau adalah seorang penghafal yang terpercaya sekaligus pakar penghafal hadits.

Pada Awal bulan Dzul-Qa'idah dalam usia delapan puluh tahun lebih, beliau wafat. Tepatnya pada tahun 321 H.

(Dikutip dari Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, Penerbit Darus Shahabah Lith-Thiba'ah wan Nasyr, Bairut, Libanon)

Ibnu Taimiyah

SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH RAHIMAHULLAH

Adapun pada abad-abad pertengahan, (sebagaimana yang sudah saya katakan), dalam waktu yang singkat ini saya tidak bisa menyebutkan setiap ulama untuk setiap abad. Saya hanya akan menyebutkan orang-orang yang memiliki tanda-tanda yang menonjol.

Kami menyebutkan pada abad-abad pertengahan, pada abad ke delapan, Syaikhul Islam, seorang ulama besar, seorang imam, Abul Abbas, Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam, Ibnu Taimiyah, An-Numairi, Ad-Dimasyki, Al-Harani –semoga Allah memberi rahmat kepadanya-. Beliau telah menulis kitab-kitab, menyusun tulisan-tulisan, menempatkan kaidah-kaidah, dan menjawab masalah-masalah.

Demi Allah, demi Allah dan demi Allah hampir saya bersumpah secara khusus, bahwasanya tidak ada syubhat yang kamu hadapi di masa-masa ini. Setelah delapan abad dari kematian Imam ini, wahai saudaraku yang mendapatkan taufik, di dalam masalah aqidah dan agama yang termasuk masalah-masalah ahli bid’ah lalu kamu mencarinya di dalam kitab-kitabnya, kamu teliti di dalam tulisan-tulisannya dan risalah-risalahnya, atau fatwa-fatwa dan jawaban-jawabannya, maka kamu akan mendapatkan jawabannya. Jika kamu tidak mendapatkannya, maka hal itu disebabkan ketidak mampuan dalam mencarinya, bukan karena Ibnu Taimiyah tidak menyebutkan jawaban. Masalah ini saya harapkan agar dipahami secara baik. Sehingga nampak kemampuan Imam ini, kekuatan ilmunya, keluasan akalnya, kegeniusan otaknya –semoga Allah memberi rahmat kepadanya-.

Apabila kamu ingin tahu kedudukan Ibnu Taimiyyah, maka ketahuilah bahwa Ibnul Qayyim adalah muridnya. Apabila kamu ingin tahu ukuran kegeniusan yang diberikan oleh Allah kepada Ibnu Taimiyah, maka ketahuilah bahwa Imam Ibnu Katsir termasuk muridnya. Daftar nama-nama muridnya akan menjadi panjang dengan menyebutkan : Al-Mizzi, Ibnu Rajab, Ibnu Abdul Hadi, yang termasuk murid-muridnya atau murid-murid sahabat-sahabatnya dari kalangan imam-imam besar yang memenuhi sejarah Islam. Saya tidak hanya mengatakan, mereka memenuhi perpustakaan Islam saja. Bahkan mereka memenuhi sejarah Islam dengan kesungguhan, perjuangan, ilmu, akhlaq, adab, tingkah laku mereka dan banyak lagi hal-hal lainnya.

Imam Ibnu Taimiyah juga pada masanya, dia hidup pada masa bergelombangnya fitnah-fitnah dan tersebarnya ujian-ujian. Mulai fitnah Tartar sampai fitnah Rawafidh, juga fitnah tersebarnya madzhab Asy’ariyah yang menyimpang dan lain-lainnya. Dia turun di setiap medan bagai tentara berkuda yang besar dengan membawa pedang, pena, dan mata lembing. Dia menulis, berjihad, dan membela. Dia diperdaya, dimusuhi, dan bersabar. Hingga pada suatu saat dia mendapat kehormatan dari sebagian sulthan (penguasa). Sulthan tersebut datang kepada Ibnu Taimiyah dengan membawa musuh-musuhnya yang memfitnah tentang dirinya, memenjara, menyakiti, mengusir dan mendzaliminya. Sulthan berkata kepadanya : “Apa yang akan kamu lakukan kepada mereka ?” Dia menjawab : “Saya memberi maaf kepada mereka”. Maka mereka kagum kepadanya. Mereka berkata : “Wahai Ibnu Taimiyah, kami mendzalimimu dan kamu mampu untuk membalasnya, tetapi kamu memberikan maaf?” Dia menjawab : “Ini adalah akhlak orang-orang beriman”. Memang, akhlak ini tidak dimilki kecuali oleh orang-orang istimewa saja. Yaitu, kamu memberi maaf, padahal kamu pada posisi yang tinggi, terlebih-lebih setelah banyak didzalimi oleh orang yang diberi maaf. Oleh karena itu, apabila kita membaca sejarah, kita tidak mendengar seorang yang namanya Bakri dan Akhna’i kecuali karena Ibnu Taimiyah telah membantah keduanya. Nama Ibnu Taimiyah selalu naik dan melambung sebagaimana firman Allah.

“Artinya : Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?”[Alam Nashrah : 4]

Imam Ibnul Qayyim berkata tentang ayat ini : “Sesungguuhnya setiap orang yang menolong sunnah, meninggikan sunnah dan mendukung Ahlus Sunnah, dia mendapatkan bagian dari firman Allah “Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?” [Alam Nashrah : 4] Setiap orang yang merusak sunnah dan menentang Ahlus Sunnah, dia mendapatkan bagian dari firman Alllah.

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus” [Al-Kautsar : 3]

Mereka (musuh-musuh sunnah) itu terputus. Sedangkan mereka (penolong-penolong sunnah) mendapatkan pertolongan dan derajat ketinggian.

Lihatlah anjuran dan jihad Ibnu Taimiyah terhadap bangsa Tartar dalam peperangan Syaqhab. Ada orang yang berkata : “Sesungguhnya kami pasti akan menang!”. Maka Ibnu Taimiyah berkata kepadanya : “Katakanlah insya Allah!”. Dia berkata : “Saya mengatakan insya Allah sebagai perwujudan bukan penundaan”. Karena dia percaya kepada pertolongan Allah. Merasa tenang dengan taufik dari Allah, dan bertawakal kepada Allah, maka Allah mencukupinya.

Inilah Ibnu Taimiyah. Dia telah menulis bantahan kepada Asy’ariyah dan Mutakallimin (ahli filsafat) dalam kitab-kitab yang besar. Diantaranya, kitab bantahan kepada Fakhruddin Ar-Razi yang telah membangun madzhabnya yang menyimpang dalam sebuah kitab, yang dinamakan dengan At-Ta’sis. Ibnu Taimiyah menulis bantahan kepadanya sebanyak 4 jilid. Kitab yang dibantah tersebut sekitar kurang lebih seratus halaman. Dibantah oleh Ibnu Taimiyah dengan kitab sebanyak 4 jilid. Berisi tentang penjelasan kesesatan Jahmiyah dan pembongkaran dasar-dasar bid’ah halamiyah (filsafat). Kitab tersebut, dua jilid besar telah dicetak dan selebihnya insya Allah akan dicetak dalam waktu dekat.

Dia juga menulis bantahan kepada Al-Amidi, Al-Ghazali, dan lain-lainnya dalam sebuah kitab yang besar sekali yang diberi nama “ Dar’u Ta’arudil Aql wan Naql”. Kitab tersebut punya nama lain. Kedua nama tersebut adalah nama satu kitab. Sebagian orang menyangka dua nama kitab itu untuk dua kitab. Yaitu kitab “Muwafaqatu Shahihil Manqul li Shahihi Ma’qul” yang di tulis untuk membantah kelompok di atas.

Dia juga menulis bantahan kepada kelompok Syi’ah yang buruk, dengan sebuah kitab yag diberi nama “Minhajus Sunnah Nabawiyah fi Naqdi Kalamisy Syi’atil Qadariyah” Dia menulis 10 jilid sebagai bantahan kepada salah satu pembesar mereka yang bernama Al-Muthahhar Al-Hilli atas kitabnya yang berjudul Minhajul Karomah. Dia membantahnya dalam 10 jilid.

Kelompok Syi’ah sudah dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka selalu mencari kesalahan apa saja yang dilihatnya, kecuali Ibnu Taimiyah. Bahkan sampai sekarang mereka tidak bisa membantah dan menjawab hujjah-hujjah dan dalil-dalilnya. Oleh karena itu kamu melihat mereka diam, membisu, tidak mau berbicara. Kitab tersebut masih tetap dicetak, diterbitkan, bahkan diterjemahkan dan dipelajari. Di hadapan kitab tersebut tidak bisa bergerak. Inilah Ibnu Taimiyah, seorang imam yang merupakan ulama terbesar bagi da’wah yang agung dan penuh berkah ini.

Dengan melihat sejarah dan riwayat hidupnya, akan didapatkan banyak hal tentang Ibnu Taimiyah. Tetapi yang terlintas secara khusus dalam diri adalah suatu hal, yaitu bahwa Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara karena tipu daya dan di fitnah oleh musuh-musuhnya di hadapan Sulthan (penguasa). Meskipun demikian, ahli sejarah mengatakan tatkala Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara dan dikeluarkan jenazahnya, maka semua penduduk Damaskus keluar, kecuali empat orang karena takut. Bila mereka keluar akan dibunuh oleh orang-orang. Penduduk Damaskus semuanya keluar kepada jenazahnya. Oleh karena itu perkataan yang masyhur dari Imam Besar Ahmad bin Hambal adalah : “Katakanlah kepada ahlul bid’ah perjanjian antara kami dan kalian adalah hari jenazah”.Kalau kita melihat muridnya, Imam Ibnul Qayyim (yang saya katakan) dan saya berharap tidak berlebih-lebihan : “Dia adalah murid terbaik dari ulama terbaik sepanjang abad”. Dia memahami prinsip-prinsip dakwah Ibnu Taimiyah. Mengolah kaidah-kaidahnya, kenyang dari semua sisi-sisinya, menimba dari semua sumber-sumbernya, dan melebihi syaikhnya dalam sesuatu yang tidak dicapai oleh syaikhnya, yaitu keindahan tutur katanya dalam menerangkan.

Tetapi saya ingin mengoreksi kepada diri saya dengan mengatakan, bahwa kita tidak mendapatkan perkataan Ibnu Taimiyah yang indah dalam karangannya, sebagaimana kita mendapatkan pada Ibnul Qayyim. Bukan berarti Ibnu Taimiyah tidak memiliki kemampuan yang sempurna dari sekedar membuat karangan dan melebihi Ibnul Qayyim. Tetapi karena kemampuannya atau kehidupannya penuh dengan cobaan. Beliau tidak memiliki waktu dan kesabaran yang cukup untuk menyusun makna-makna dan kata-kata sebagaimana yang dimiliki oleh muridnya Ibnul Qayyim. Ini adalah masalah yang sangat penting untuk dicermati.

Diantara hal-hal yang berkaitan dengan Ibnu Taimiyah, saya akan menyebutkan suatu yang penting. Bahwa Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah memiliki perkataan yang indah, yang dia terapkan sendiri pada dirinya, dan disebarkan oleh murid-murid beliau. Sampai sekarang kita mengulang-ulanginya, karena perkataan itu diambil dari firman Allah. Perkataan itu adalah.

“Dengan kesabaran dan keyakinan, keimanan dalam agama dicapai”

Perkataan ini dibenarkan oleh firman Allah.

“Artinya : Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” [As-Sajdah : 24]

Inilah Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang sangat masyhur dalam dakwah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M, Diambil dari materi ceramah Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Tanggal 3-6 Muharram 1423H di Ma’had Ali Al-Irsayd Surabaya dengan judul A’lam Dakwah Salafiyah Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari]
 

Ka'bah Night | powered by Blogger | created from Minima retouched by ics - id